Kata Kakang

15 April 2016 1 komentar

"Surga jaminan untuk istri yang berbakti. Neraka konon penuh oleh wanita-wanita pembangkang kepada suami," kata Kakang kepada saya yang kala itu keras kepala.
"Aku baru tahu, Tan Malaka pernah ngomong gini, 'Modal bisa memenjarakan manusia, membuat manusia bekerja tanpa henti dari jam lima subuh sampai jam delapan malam untuk kekayaan orang lain.' di tulis di Madilog kalau ga salah. Ya itulah Kapitalisme, Yang. Makanya jangan sampai kita benar-benar tenggelam. Bersiap dari sekarang untuk menuju kemerdekaan kita sendiri," kata Kakang melihat semangat menulis saya tengah kendur.
"Bukankah pasangan sejati memahami pasangannya lebih dari siapa pun?" kata Kakang kepada saya yang saat itu uring-uringan cari perhatian.
"Neng, kebutuhan apa lagi?" kata Kakang kepada saya yang tengah giat mengumpulkan kebutuhan rumah tangga.
"Kamu mesti paham dulu, kita sedang di tahap mana," kata Kakang kepada saya ketika tengah dilanda kebingungan mengambil keputusan.
"Di mana, Bro? Sudah sampai belum?" kata Kakang selalu kepada saya yang sedang menempuh perjalanan jauh.
"Ya berproses, Neng. Pelan-pelan," kata Kakang kepada saya yang selalu terburu-buru ingin mendapatkan sesuatu.
"Kamu mah memang spesialis nyusahkeun batur. Hahaha," kata Kakang ketika saya akhirnya mendapatkan sepatu yang sesuai ukuran.
"Pola pikir macam itu mesti disentil sih. Ada jutaan orang yang secara finansial kurang, namun hatinya kaya, dan barangkali derajatnya jauh lebih mulia. Ndak boleh gitu, Neng," kata Kakang, menegur saya yang membanding-bandingkan harta benda orang lain.
"Beli panci atau beli katel lagi?" kata Kakang kepada saya tiap kali saya minta pendapat.
"Wanita itu tugasnya menjaga kehormatan lelakinya, Neng," kata Kakang kepada saya yang sedang bandel-bandelnya.
 "Enak pasti," kata Kakang selalu, ketika saya takut masakan saya tak seenak masakan mamahnya.
 "Neng, sok. Aku jangan ngehambat," kata Kakang kepada saya yang selalu banyak pertimbangan.
"Kalo rezeki ga akan kemana, selama kita ikhtiar, ikhlas karena Allah. InsyaAllah. Itu yang selama ini kupegang, Ke-siapa lagi tempat kita berpagut? Selain ke Gusti kita bersama, Allah SWT," kata Kakang kepada saya yang khawatir hidup kekurangan.
"Ayo kita rukun. Saling mengerti. Hayu sauyunan," kata Kakang selesai kami berdebat panjang.
 "Neng, pamit. Nanti dihubungi lagi :)," kata Kakang tiap kali mau pergi.
"Ubah mindset-nya. Pamer karya sajalah di sosial media. Minimal sesuatu yang bagus kalau belum bisa bermanfaat," kata Kakang melihat saya tak elok bermain di sosial media.
"Libur ya sekarang? Masaklah banyak-banyak," kata Kakang ketika hari libur tiba.
"Balik lagi ke Esensi. Yang kamu cari apa? Itu coba tanyakan ke diri kamu sendiri," kata Kakang kepada saya yang sering memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan.
"Kamu mesti paham ujungnya. Saling memaafkan," kata Kakang setelah badai salah paham reda.
"Delapan tahun. Masih pengin kayak orang lain? Orang lain mungkin pengin jadi seperti kita. Bersyukur, Neng," kata Kakang kepada saya yang melulu membicarakan orang lain.
"Ayo, Neng. Kita serius berumah tangga," kata Kakang, setelah sekian lama akhirnya kami beli kompor.
"Neng, mau ga nanti nisan-nya sebelahan sama nisanku?" kata Kakang bulan puasa kemarin di depan nisan Papap. (DIR)

1 komentar:

  • versya mengatakan...

    bersyukur neng.. hihi baca ini malah baper (sama-sama dipanggil neng juga soalnya *curcol) so sweet teh de...

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB