Banding, Membandingkan, Perbandingan, Banding-Membanding

08 Agustus 2012 0 komentar

Sepi. Tenang. Hawa tempat ini selalu sama, tidak berubah dari delapan tahun yang lalu, yang berbeda hanyalah pohon-pohon bambu yang semakin tinggi, yang semakin lebat menghalangi tempat ini dari cahaya matahari. Daun-daun bambu yang berjatuhan terlihat menumpuk di beberapa sudut, menandakan bahwa tempat ini masih sering dirawat untuk sekedar dibersihkan. Saya mengeluarkan nafas lega, berterima kasih kepada orang yang sudah berbaik hati menjaga tempat tenang ini.

Pagi ini saya mengunjungi separuh jiwa mamah saya, papap. Ya, ditempat inilah, tempat dimana nama papap saya dengan gagah terukir dalam sebuah nisan. Entah kapan terakhir kali saya datang ke makam papap, terlampau lama mungkin, sehingga saya begitu sulit mengingatnya. Rasa bersalah meliputi perasaan saya. “Kemana saja saya selama ini?”, tanya saya dalam hati. Saya terlalu sibuk dengan diri sendiri, dunia sendiri, hingga mengabaikan papap sendiri.

“Pap, Dea datang. Maaf membuat papap nunggu terlalu lama”

Saya datang dengan begitu banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran saya. Saya sedang gusar akhir-akhir ini, tentang hidup, tentang masa depan, tentang lingkungan, dan tentang orang-orang disekeliling. Di makam papap inilah, saya memutuskan untuk menumpahkan semuanya.

Duduk di depan nisan yang bertuliskan nama papap, menundukan kepala kemudian memejamkan mata sejenak, dan berdoa di dalam hati.

“Ya Alloh Yang Maha Pengasih. Ampunilah dosa perdosa yang pernah beliau lakukan selama merasakan nikmat hidup yang Engkau berikan. Jadikanlah kesabaran selama sakitnya sebegai penebus dosa atas kesalahan yang pernah ada. Terimalah amal ibadahnya selama hidupnya. Jadikanlah kebesaran hatinya menerima segala cobaan sebagai penambah amalnya. Lapangkan dan terangilah alam kuburnya. Masukanlah beliau kedalam orang-orang yang senantiasa tunduk di jalan-Mu. Kelak pertemukanlah kami, saya, papap, dan seluruh anggota keluarga di tempat terindah-Mu. Amin”

Saya membuka mata. Melihat sekeliling, kemudian menunduk lagi, dan seketika itu lah semua yang berkecamuk dalam pikiran saya tumpah. Saya datang membawa kegalauan, tentang sebuah pemikiran yang akhir-akhir ini saya pertanyakan kebenarannya.



Saya tidak suka dibandingkan! Ya pemikiran ini yang menyita perhatian saya. Saya menolak keras berbagai macam perbandingan, terutama perbandingan antar personal yang sifatnya lebih melihat segala yang tampak dari luar, tanpa menengok isi yang ada di dalam.

Dibandingkan, terasa begitu familiar dalam kehidupan saya mungkin juga anda. Saya berkali-kali dibandingkan, menjadi bahan pembanding, diperbandingakan, atau apaun itu yang berkaitan dengan banding-membanding.

Saya sering dibandingkan dengan kakak perempuan saya sendiri. Bahan perbandingannya bermacam-macam, mulai dari kepintaran, fisik, kebiasaan, karakter, dan lain lain dan lain lain. Saya sempat tak habis pikir, sebenarnya apa yang orang-orang dapatkan ketika sudah selesai membandingkan kami? Kesimpulan apa yang mereka cari dari membandingkan kami? Benarkah mereka mencari siapa yang kalah dan siapa yang menang dintara kami berdua? Kemudian setelah mereka mendapatkan kesimpulan siapa yang menjadi pemenang dan siapa yang menjadi pecundang, mereka hendak apa? Benarkah ingin menjatuhkan mental kami, atau lebih tepatnya mental yang kalah? Terlalu banyak pertanyaan di kepala saya dan sejujurnya ini membuat saya semakin tidak suka dibandingkan.

Kamu tahu rasanya dibandingkan dengan saudara kandung sendiri? Saya sendiri bingung menjelasakan apa yang saya rasakan. Yang pasti setelah saya sadari saya sering dibandingakan, secara tidak langsung saya kemudian berusaha berbeda dan tak sama dengan kakak saya walaupun pada kenyataannya kami berdua memanglah berbeda tanpa harus saya menyengajakan untuk berbeda. Kakak saya cenderung feminim, berpembawaan tenang, jarang berbicara, dan dewasa. Berbeda dengan saya yang tomboy, cerewet, periang, dan kekanak-kanakan. Jadi apalagi yang harus dibandingkan dari kami berdua? Karena nyatanya kami berbeda.

Atau yang paling menyesakkan buat saya, yang terjadi baru kemarin adalah ketika saya dibandingkan dengan orang yang saya belum kenal betul, oleh salah satu orang yang berpengaruh dalam hidup saya. Mungkin tidak secara langsung dibandingkan, tetapi saya tahu betul saya dibandingkan apapun itu caranya, langsung atau tidak langsung. Awalnya saya pikir saya istimewa dipikirannya, saya berbeda dimatanya, dan saya sempat berharap bahwa saya yang terbaik dalam pandangannya sehingga saya tak perlu dibandingkan dengan siapapun. Namun saya dibuat terhenyak, ketika tahu bahwa kenyataannya dia membandingkan saya dengan orang lain. Saya terkaget lagi ketika saya harus menerima kenyataan bahwa saya sudah kalah telak (ini menurut kesimpulan pribadi saya). Saya kalah dibandingkan dengan orang yang belum saya kenal betul didepan orang yang saya anggap paling mengerti saya.

Saya sedih, saya kecewa, dan sedikit agak terluka. Saya pikir saya istimewa, saya pikir saya berbeda, dan saya pikir saya yang terbaik, nyatanya bukan. Dari situlah, ketidaksukaan saya tentang dibandingkan semakin besar. Saya tidak suka dibandingkan! Dengan sedikit kesedihan dan kekecewaan yang ada, saya memutuskan menemui orang yang paling menghormati saya, yang saya tahu tidak pernah membandingakan saya dengan siapapun di dunia ini, karena menghormati potensi saya.

Dan disinilah saya menemuinya sekarang, papap. Yang saya tahu dan saya yakini, bahwa papap ini adalah satu-satunya orang yang tidak pernah membanding-bandingkan saya dengan siapapun dan dalam hal apapun. Papap adalah satu-satunya orang yang tersenyum tenang ketika melihat raport semester tidak sebagus kakak-kakak saya yang lain. Papap adalah satu-satunya orang yang menghormati keanehan saya yang sama sekali tidak menyukai durian padahal berada dalam keluarga penggila durian. Papap adalah satu-satunya orang yang sabar mengingatkan ketika melihat kemalasan saya yang hanya mau mengerjakan Pekerjaan Rumah 7 nomer dari 10 nomer soal yang diberikan, padahal kakak-kakak saya selalu mengerjakan Pekerjaan Rumah secara tuntas. Papap menerima saya dengan apa adanya saya, dengan kelemahan saya, kelebihan saya, kekurangan saya, dan keunikan saya. Saya sempat berkhayal, seandainya saja pemikiran orang-orang di luar sana sama seperti pemikiran yang dimiliki papap. But I know that their mind is not my business. I can’t take control about what they think.

“Pap, apakah ketidaksukaan Dea terhadap ini adalah benar?”, Saya bertanya dalam hati, kemudian menundukan kapala lebih bawah dan memejamkan mata rapat-rapat. Hening. Alam seolah-olah menyediakan jeda waktu untuk membantu saya mendapatkan jawaban.

Perlahan-lahan pikiran saya flash back beberapa waktu sesaat sebelum saya berada di makam papap. Diperjalanan menuju makam papap, di kejauhan saya melihat 2 anak perempuan Sekolah Dasar yang berjalan bergandengan tangan. Satu dari kedua anak itu menggunakan tas sekolah gendong berwarnya merah muda dengan gambar Barbie yang besar, sedangkan yang satu lagi menggunakan tas selempang berwarna biru gelap dengan hiasan gambar robot yang kurang tahu saya namanya apa. Melihat itu saya bergumam kecil dalam hati, “Kenapa anak yang bertas biru tomboy sekali, padahal wajahnya lebih feminim daripada yang bertas merah muda”

Astagfirulloh. Saya tersentak tiba-tiba. Saya tidak suka dibandingin oleh orang lain, tapi saya masih suka membandingkan orang lain. Egoiskah? Ya, saya mencurangi diri saya sendiri. Saya tidak mau dibandingkan dengan orang lain, karena saya takut kalah, karena saya tidak berlapang dada untuk menerima kekalahan. Mental saya belum terbentuk menjadi mental kesatria yang tidak hanya siap menang, tapi juga harus siap kalah. Tatapi saya masih saja suka membandingakan orang lain yang mungkin perasaanya akan sama bila dibandingakan,

Seharusnya saya boleh senang, ketika saya dibandingkan dengan orang lain, itu bisa berarti kalau orang-orang menyadari keberadaan saya dan mengakui kemampuan saya. Masalah saya menang atau kalah ketika telah selesai dibandingkan, itu hanyalah sebuah persepsi atau kesimpulan dari orang yang sudah membandingkan saya, bukan berarti sebenar-benarnya keadaan saya.

Ketika saya menang, saya harus terus memacu diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ketika kalah, maka introspeksi diri. Saya salah dimana? Maka perbaiki. Saya kalah dimana? Maka perbaharui. Sehingga, dengan dibandingkan saya punya celah untuk mengenal lebih diri saya sendiri, tentang kelemahan dan kekuatan yang saya punya.

Sekarang saya seharusnya tidak perlu lagi marah ketika dibandingkan, tidak perlu besar kepala ketika lebih, dan tidak perlu malu ketika kalah. Karena sekali saya bilang, bahwa apa yang yang mereka simpulkan bisa jadi hanya sebuah persepsi dan bukan berarti sebenar-benarnya kondisi saya. Namun bukan bebrati saya menyetujui secara penuh tentang membandingkan ini. Membandingkan boleh, disertai dengan kritik yang membangun dan menumbuhkan motivasi. Membandingkan yang dilarang adalah membandingkan dengan niat menjatuhkan harga diri, menghancurkan kepercayaan diri, dan disampaikan dengan cara melukain hati

Kesimpulan dari proses pemikiran saya yang singkat ini adalah banding-membanding sesungguhnya diperbolehkan dan saya harus siap ketika memang harus dibandingkan, tetapi yang paling tepat adalah menghindari membandingankan orang lain karena kenyataannya setiap dari manusia adalah berbeda, hanya Alloh yang memiliki kemampuan untuk membandingakan makhluknya secara sama, objektif, dan adil.
Ditempat ini, ditempat dimana saya merasa dekat dengan papap, saya dapatkan kesimpulan dari kegundahan hati saya.(DIR)
Sekarang saya siap dibandingkan dengan siapapun ! Tak perlu takut, karena walaupun mungkin saya tidak sempurna, but I'm the best !

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB