Filosofi Setengah Gelas Penuh

22 Maret 2012 8 komentar



Suatu hari di sebuah tempat favorit di daerah Taman Sari Bandung, saya terlibat obrolan dengan partner saya setelah menyelesaikan dinner late kami.

Tiba-tiba dia mengisikan gelas kosong dihadapannya dengan air bekas mencuci tangan yang dalam bahasa Sunda sering disebut kobokan sehingga gelas yang tadinya kosong menjadi terisi setengah bagiannya.

Saya bertanya dalam hati “Apalagi yang akan dia lakukan malam ini?” Ya, sebagai teman yang paling banyak menghabiskan waktu dengan saya, baik itu untuk mebunuh waktu dari rutinitas yang kadang-kadang terasa menjenuhkan, berbincang tentang hal-hal kecil yang entah kenapa begitu menjadi menarik, bercerita tentang mimpi-mimpi masa depan, berdiskusi tentang berbagai proses yang kadang menggembirakan dan tak jarang menyesakan dada, berbagi kekesalan, kebahagiaan, penderitaan, dan segala keunikan tentang hidup, dia memang sering melakukan hal-hal aneh yang tak jarang membuat saya bertanya-tanya tapi sering juga membuat saya terkagum-kagum dibuatnya. Seperti yang dia lakukan malam itu.

“Menurut kamu ini gelas setengah kosong atau setengah penuh, Dey?” tanyanya kepada saya yang duduk disampingnya seraya menunjuk gelas yang ada dihadapannya itu.

Saya diam sejenak, mencoba menebak-nebak maksudnya dari pertanyaannya. Setiap berdiskusi dengannya saya berusaha untuk tidak melakukan atau berkata sesuatu tanpa alasan yang jelas, karena dia mengajarkan saya agar seperti itu. “Di dunia ini pilihannya cuma dua, orang yang belum tahu dan yang sudah tahu, ga ada orang yang sok tahu” kata-kata dia itulah yang menyadarkan saya untuk selalu berusaha mengatakan hal-hal dengan alasan yang kuat.

“Hmm..setengah penuh, Gy” jawab saya pada akhirnya. Saat itu saya pikir setengah kosong atau setengah penuh intinya memiliki arti yang sama, yaitu sama-sama terisi setengah. Dan saya memilih setengah penuh yang menurut saya lebih bermakna lebih ada sesuatu yang tekandung di dalamnya yang belum saya tahu maknanya sebenarnya apa.

Setelah mendengar jawaban saya, kemudian dia membuang sedikit isi di dalam gelas hingga kekosongan di dalam gelas itu menjadi dominan. “Kalo ini gimana, setengah kosong atau setengah penuh?” bertanya lagi ia kepada saya sambil tersenyum.

“Ah..sama aja kok setengah penuh” saya menjawab pertanyaan kedua-nya.

Yakin?” dia seperti tengah menguji keyakinan saya.

“Mau setengah kosong atau setengah penuh perasaan artinya sama aja deh, cuma beda pemilihan kata-katanya aja, Gy” ujar saya memberi alasan.

Dia tersenyum penuh arti dan saya mengenal arti dari senyum itu. Setiap senyum itu hadir, maka ada arti di dalamnya yang akan disusul penjelasan-penjelasan panjang lebar yang akan dia jelaskan dengan penuh semangat dan berapi-api.

“Kamu berarti tipe orang yang bagus, Dey. Optimis, kenapa kamu lebih memilih setengah penuh daripada setengah kosong? karena suatu saat kamu yakin kalo gelas itu bakal penuh. Kamu melihat sudut pandang dari sudut penuhnya bukan dari kosongnya. Apa yang kamu pikirkan kedepannya adalah apa yang kamu harapkan dan kalo kamu berpikir dari sisi positifnya maka kamu mengharapkan sesuatu yang positif nantinya. Nah, itu termasuk ciri-ciri orang yang optimis. Bagus ! “ ucapnya panjang lebar sambil (lagi-lagi) tersenyum.

Saya ikut tersenyum lebar. Senang rasanya saya dinilai sebagai orang yang optimis, karena yang saya tahu orang-orang yang hebat dunia yang pernah saya baca kisahnya merupakan orang-orang yang optimis dan saya berharap nantinya saya akan bisa menjadi bagian dari orang-orang hebat tersebut atau setidaknya saya menjadi hebat menurut versi saya sendiri.

Satu hal yang saya garis bawahi dari sekian banyak hal-hal yang penting dan bermanfaat dari “Filosofi Setengah Gelas Penuh” malam itu . “Bahwa optimis adalah sudut pandang positif yang kita ciptakan sendiri ketika melihat berbagai macam kemungkinan yang akan terjadi dan ditawarkan oleh hidup” (DIR)

8 komentar:

  • anotherorion mengatakan...

    obyeknya sama, sudut pandangnya berbeda ya ternyata, postingan menarik :D

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB