Menua dengan Cinta

22 Desember 2013 0 komentar
Sejatinya waktu tidak pernah menunggu. Ia berjalan dengan ritme serupa setiap harinya. Tak peduli apakah sudah ikut tumbuh bersama waktu. Tak acuhkan apakah sudah memfaedahkan waktu dengan baik. Tak hiraukan apakah sudah rampung berbenah terhadap perubahan waktu. Waktu tetap saja tidak pernah menunggu.

Waktu berjalan, dulu saya balita mungil kesayangan mamah. Waktu berjalan, saya habiskan masa bermain taman kanak-kanak. Waktu berjalan, saya menamatkan pendidikan bangku sekolah. Waktu berjalan, saya bertoga menyelesaikan pendidikan Diploma. Waktu berjalan, saya bekerja sebagai karyawan swasta. Esok bila waktu masih berjalan (InsyaAllah), saya bertoga Strata 1, ber-imam yang disebut suami, berbuah hati, berkulit tak lagi kencang, beruban, dan berstatus sebagai nenek. Saya menua.

Menua merupakan fitrah bagi pribadi yang diberi jatah waktu panjang oleh Dia Yang Maha Baik. Entah harus berbahagia atau bersedih membayangkan kelak tak lagi sebertenaga hari ini menghadapi hidup, melemah tak lagi memiliki fisik sebugar ketika muda, yang pasti banyak orang yang gamang menghadapi masa tua. Bagaimana kehidupan kelak dimasa tua wajar bila dipertanyakan. Didampingi siapa dimasa tua wajar bila dikhawatirkan. Karena sejatinya setiap insan didunia tetap ingin merasa bahagia walau di masa tua.

Idealnya, masa tua yang saya sebut bahagia adalah masa dimana keluarga tetap menjadi pendamping setia, siap siaga menjaga, menemani sisa waktu didunia, dan tetap mencintai tanpa cela. Semuanya sempurna dalam impian saya dan sudah barang tentu semua yang pernah membayangkan masa tua akan sepakat.

Beberapa waktu yang lalu, di Sabtu yang cerah tepat tanggal 1 Juni di tahun 2013 saya bersama tiga rekan kantor mengunjungi sebuah panti jompo di Bandung. Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi begitulah panti jompo tersebut diberi nama. Dalam perjalanan saya membayangkan, tempat yang akan dikunjungi adalah sebuah tempat dimana saya akan menemukan ibu-ibu renta yang lemah tak berdaya dengan kesehatan yang setiap hari semakin menurun, menangis sedih kesepian meratapi masa tua. Namun yang saya temui disebuah rumah bergaya zaman dulu di Jalan Sancang No.2 Kelurahan Burangrang Kecamatan Lengkong adalah sekumpulan wanita yang sering dipanggil Oma yang begitu menikmati masa tua. Lega rasanya menerima kenyataan bahwa bayangan menyedihkan tentang panti jompo ternyata hanya isapan jempol belaka.

Dihuni oleh kurang lebih 48 wanita yang rata-rata sudah melewati umur separuh baya, Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi tampak begitu terawat. Suasana panti jompo yang asri, bersih, dan tenang memang patut menjadi tempat menghabiskan masa tua. Saya berkeliling dan menemukan berbagai macam karakter wanita yang luar biasa, dengan kisah hidup yang beragam. Sayang, saya tidak mampu mengingat semua nama oma-oma yang saya temui. Namun diantara banyaknya oma-oma yang saya temui ada dua oma yang senantiasa teringat diingatan hingga hari ini.


Oma Rosi, berumur 57 tahun terlihat jauh lebih muda dari yang seharusnya. Kegiatannya sehari-hari, selain mengikuti jadwal kegiatan rutin panti, juga aktif mengikuti pengajian di luar panti. Tanpa sungkan beliau menceritakan kegiatan sehari-harinya, memamerkan sebuah kliping bacaan-bacaan doa yang didapatnya dari pengajian, memperlihatkan barang-barangnya yang tersusun rapih dan terawat. Beliau terlihat segar bugar, bersemangat, dan sangat ramah, tipe seorang oma yang mandiri.

Bila ditanya mengapa beliau ada di panti sekarang, maka jawabannya because she loves her son so much. Bukan impiannya menghabiskan masa tua dengan orang-orang yang tidak mempunyai ikatan darah, betapa sangat ingin ia tinggal bersama anak laki-lakinya. Bayang-bayang akan kondisi ekonomi anaknya, dan kondisi menantunya yang tak dapat menerima kondisi, akhirnya menjadi alasan yang membawanya berada di panti. Ia berkorban supaya tidak membebani putra yang dilahirkannya, walaupun tak dapat dipungkiri kadang ia juga merasa kesepian dan berkeinginan untuk dapat berkumpul dengan keluarga.


Oma Encin, wanita yang tetap terlihat cantik di kala senja. Pembawaanya ceria, sering tertawa, bercanda, dan gemar bernyanyi. Selama berbincang dengan saya, sebagian besar dihabiskan dengan bernyanyi, lagu favoritnya adalah selendang sutra. Beliau memamerkan buku kumpulan lagu-lagu kepada saya dan mengajarkan saya bernyanyi. Ia menertawakan saya yang dianggap tidak bisa bernyanyi, tertawa-tawa bercerita kepada saya bahwa banyak pemuda yang menyukainya. Semasa muda, beliau adalah sinden dan kembang desa di sebuah desa di Sukabumi. Dimasa senja, ia tidak memiliki buah hati yang dapat menjaganya, dengan alasan itu pulalah ia bisa sampai di panti.

Dan dari kedua oma baik hati yang saya temui di panti, mengingatkan saya akan seorang wanita separuh baya di Tasikmalaya. Entah sedang apa ia disana, mungkin sedang terlelap tidur atau tengah menengadah memanjatkan doa yang biasa ia lakukan setiap harinya. Umurnya tahun ini 52 tahun, 9 tahun yang lalu di umurnya yang ke-43 tahun, ia harus kehilangan belahan jiwanya yang dipanggil oleh Sang Kuasa. Sendirian ia harus membesarkan 4 buah hati yang masih amat sangat membutuhkan bimbingan orang tua. Bersedihkah ia? Tentu. Menyerahkah ia? Sayangnya Tidak.

Menjadi janda diusia relatif masih muda sesungguhnya bukan cita-cita, namun sebuah takdir Tuhan. Baginya, bila Allah sudah menetapkan, berarti Allah mengetahui ia berkapasitas untuk menghadapi semua. Banting tulang ia menghadapi dunia. Jarang ia terlihat mengeluh, meratapi hidup, meminta-minta belas kasihan orang lain. Ia tangguh. Mengajari anak-anakanya kesederhanaan. Mencontohkan kemandirian, tak perlulah meminta-minta belas kasihan orang lain, berpikir kemudian selesaikan masalah dengan tangan sendiri. Mendidik kesabaran, setiap awal pasti ada akhir, setiap kesulitan pasti ada kemudahan, hidup tak akan selamanya duka kelak pasti akan datang suka, setiap tahap harus dilewati, kuncinya adalah sabar.

Waktu berjalan, 9 tahun terlewati. Sedikit demi sedikit, buah perjuangannya berbuah manis. Melihat ke-4 anaknya tumbuh mandiri, beberapa mulai membangun keluarga, rasanya perjuangan yang lalu bukahlah apa-apa. Kini, ia pantas tersenyum dan mulai menikmati masa tuanya. Menghabiskan waktu dengan mengikuti pengajian diberbagai tempat seperti yang dilakukan Oma Rosi. Bernyanyi-nyanyi, tertawa, dan bercanda layaknya Oma Encin. Namun, berbeda dengan Oma Rosi dan Oma Encin yang harus menikmati masa tua sendirian, ia menua bersama orang-orang yang dicintainya, anak-anak yang mandiri, cucu-cucu yang cerdas, dan saudara kandung yang perhatian. Menua dengan cinta. (DIR)

****

Selamat menikmati masa suka setelah duka, ia yang kupanggil mamah 
Isye Sutiatin
Ia adalah karang yang mengajarkan kerasnya ombak dan lembutnya buih
Terima kasih untuk tangan, kaki, dan tetes keringatnya
Terima kasih untuk tetesan air mata ketika doa terpanjatkan
Terima kasih untuk perjuangan
Terima kasih untuk pengorbanan
Terima kasih untuk nasehat 
Terima kasih untuk pelukan yang menghangatkan
Terima kasih untuk senyuman menenangkan
dan
Terima kasih untuk kesediaan tetap mencintai Papap

Bila seisi dunia menjauh pergi, mungkin hanya mamah yang akan diam disisi


***

Selamat Hari Ibu, Mah
Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kama robbayaani shoghiroo
Dea Sayang Mamah

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB