Buku dan (Bu)Ku

01 April 2014 0 komentar
Siapa yang tak kenal Drs. H. Mohammad Hatta atau yang lebih sering disapa Bung Hatta? Saya sendiri diperkenalkan dengan beliau sejak duduk dibangku sekolah dasar. Guru Ilmu Pendidikan Sosial yang merangkap menjadi wali kelas sekaligus merangkap pula menjadi guru seluruh mata pelajaran, pernah bercerita tentang pahlawan-pahlawan pejuang pembangun bangsa Indonesia, Hatta adalah salah satunya. Bersama Seokarno, dua pemimpin bangsa ini memainkan peranan penting untuk memerdekakan Bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Salah satu buah perjuangan berburu kemerdekaan adalah dengan digemakannya Proklamasi Indonesia, 17 Agustung 1945.
 
Ilustrasi : kompasiana.com

Referensi mengenai sosok Bung Hatta, dewasa ini mudah didapatkan. Berjalan-jalanlah ke toko buku kesayangan, maka otobiografi beliau dengan judul Untuk Negeriku akan ditemukan di salah satu sudut rak. Tontonlah salah satu film wajib masyarakat Indonesia, Soekarno karya sutradara Hanung Bramantyo. Walaupun sosok Hatta tidak menjadi tokoh fokus, tapi sisi lain dari beliau bisa kita lihat difilm tersebut. Atau yang paling mudah adalah berkelanalah disebuah jaringan komputer yang dinamakan internet, tekanlah tuts-tuts alfabet di atas komputer, dan masukanlah kata kunci Muhammad Hatta di kotak pencarian, lihatlah informasi apa yang didapatkan.

Hatta dan buku adalah salah satu fakta yang akan ditemukan. Hatta muda yang cerdas sudah mulai banyak mengoleksi buku saat mendapatkan beasiswa di Belanda. Kemanapun beliau pergi selalu ditemani buku, saat diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, 16 peti dibawanya ketempat pengasingan. Bahkan mas kawin yang diberikan saat hendak menikahi Rahmi, tiga bulan pasca Indonesia merdeka, adalah sebuah buku yang ditulisnya sendiri, Alam Pikiran Yunani. Sedahsyat itulah buku mempengaruhi kehidupan Hatta.

Saya sendiri bukanlah, kutu buku layaknya Hatta. Saya hanyalah penikmat buku. Menyeleksi buku di barisan rak. Menjinjing buku terpilih seraya berlari-lari kecil menuju kasir. Memberi beberapa lembar uang kertas lalu menerima kembalian. Mendapatkan ucapan terima kasih disertai sunggingan senyum. Memeluk bungkusan berisi buku. Membuka plastik pembungkus. Membubuhkan tanda-tangan di halaman terdepan. Membaca buku saat hendak pergi tidur, saat menunggu antrian dan teman, saat waktu luang. Memasukannya kedalam tas, membawanya kemanapun, menemani aktifitas setiap hari. Tersenyum puas saat bertemu halaman terakhir. Bersorak gembira saat merasa memilih buku yang tepat. Mencari judul berikutnya untuk dibaca. Dan terus mengulangi hal yang sama berulang-ulang, sebuah kenikmatan dari mengoleksi.

Menjadi kolektor, bukan berarti gelap mata membeli semua buku. Proses memilih, membawa pulang, lalu menyimpan buku disudut rak membutuhkan kebijaksanaan. Memilih buku ibarat memilih masa depan. Saya percaya, membaca buku sama halnya dengan membentuk pola pikir. Saya adalah buku yang saya baca. Charles Jones pernah perkata, "Siapa kamu hari ini akan sama dengan siapa kamu lima tahun mendatang, kecuali dua hal yaitu dengan siapa kamu bergaul dan buku apa yang kamu baca" Sedasyat itu, buku berkekuatan mengubah manusia.

Andai apa yang dikatakan Charles Jones adalah kebenaran mutlak dan andai buku yang saya baca tak mengalami metamorfosa, maka mungkin selamanya saya akan menjadi Dea yang sama seperti 17 tahun lalu. Tetap si-bungsu, anak bawang bagi dua kakak laki-laki dan satu kakak perempuan yang setia menyewa cerita bergambar tentang sepakbola, kuda, basket dan peperangan di taman bacaan terdekat. Menjadi orang dewasa yang terperangkap pada pemikiran anak-anak, percaya bahwa kuda bisa berbicara, sepakbola dan basket selalu bergerak slow motion, meyakini tangan kosong bisa mengeluarkan api, dan menangis adalah cara menyelesaikan masalah yang paling jitu.

Andai buku yang saya baca masih sama seperti tujuh tahun lalu, maka saya yang sekarang akan tetap menjadi si-kecil yang kekanak-kanakan dimata Mamah dan Papap, yang selalu duduk manis membaca novel percintaan remaja di sudut kamar. Terdoktrin berbagai macam kisah percintaan masa muda. Cewe tomboy yang sederhana akan mendapatkan cowo keren, pahlawan basket yang digilai teman sebaya, jatuh cinta artinya surga dunia dan patah hati adalah neraka, suatu hari akan datang pangeran tampan berkuda putih menawarkan perlidungan selamanya, dan hidup adalah percintaan semata.

Tanpa membeda-bedakan jenis buku, majalah, surat kabar, dongeng, cerita bergambar, novel remaja, fiksi, non fiksi, semua buku adalah baik asal berada di tangan orang yang tepat dan dengan pemahaman yang tepat. Membaca buku dengan ilmu, memahami dengan ilmu, karena itulah hakikat membaca buku. Maka diumur saya yang tak bisa lagi dibilang remaja, setelah fase dongeng, cerita bergambar, lalu kemudian novel percintaan remaja, saya perlu asupan jenis buku baru. Buku yang ketika membalikan lembar demi lembarnya memberikan khazanah baru, ilmu baru, wawasan baru, dan kekayaan baru, tentang hidup, tentang politik, tentang hubungan antar sesama, dan tentang cinta yang lebih universal.

Hari ini saya membeli buku, lima tahun mendatang, sepuluh tahun mendatang, lima belas tahun mendatang, dan seterusnya, saya ingin buku ini masih bisa dibuka kembali, diambil dari rak buku di sudut rumah. Waktu boleh saja berlari, zaman pasti akan terus berganti, tapi buku akan terus abadi. (DIR)

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB