Siapa
yang tak kenal Drs. H. Mohammad Hatta atau yang lebih sering disapa
Bung Hatta? Saya sendiri diperkenalkan dengan beliau sejak duduk
dibangku sekolah dasar. Guru Ilmu Pendidikan Sosial yang merangkap
menjadi wali kelas sekaligus merangkap pula menjadi guru seluruh mata
pelajaran, pernah bercerita tentang pahlawan-pahlawan pejuang
pembangun bangsa Indonesia, Hatta adalah salah satunya. Bersama
Seokarno, dua pemimpin bangsa ini memainkan peranan penting untuk
memerdekakan Bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Salah satu
buah perjuangan berburu kemerdekaan adalah dengan digemakannya
Proklamasi Indonesia, 17 Agustung 1945.
Ilustrasi : kompasiana.com
Referensi
mengenai sosok Bung Hatta, dewasa ini mudah didapatkan.
Berjalan-jalanlah ke toko buku kesayangan, maka otobiografi beliau
dengan judul Untuk Negeriku akan ditemukan di salah satu sudut rak.
Tontonlah salah satu film wajib masyarakat Indonesia, Soekarno karya
sutradara Hanung Bramantyo. Walaupun sosok Hatta tidak menjadi tokoh
fokus, tapi sisi lain dari beliau bisa kita lihat difilm tersebut.
Atau yang paling mudah adalah berkelanalah disebuah jaringan komputer
yang dinamakan internet, tekanlah tuts-tuts alfabet di atas komputer,
dan masukanlah kata kunci Muhammad Hatta di kotak pencarian, lihatlah
informasi apa yang didapatkan.
Hatta dan buku adalah salah satu fakta yang akan ditemukan. Hatta muda yang cerdas sudah mulai banyak mengoleksi buku saat mendapatkan beasiswa di Belanda. Kemanapun beliau pergi selalu ditemani buku, saat diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, 16 peti dibawanya ketempat pengasingan. Bahkan mas kawin yang diberikan saat hendak menikahi Rahmi, tiga bulan pasca Indonesia merdeka, adalah sebuah buku yang ditulisnya sendiri, Alam Pikiran Yunani. Sedahsyat itulah buku mempengaruhi kehidupan Hatta.
Hatta dan buku adalah salah satu fakta yang akan ditemukan. Hatta muda yang cerdas sudah mulai banyak mengoleksi buku saat mendapatkan beasiswa di Belanda. Kemanapun beliau pergi selalu ditemani buku, saat diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, 16 peti dibawanya ketempat pengasingan. Bahkan mas kawin yang diberikan saat hendak menikahi Rahmi, tiga bulan pasca Indonesia merdeka, adalah sebuah buku yang ditulisnya sendiri, Alam Pikiran Yunani. Sedahsyat itulah buku mempengaruhi kehidupan Hatta.
Saya
sendiri bukanlah, kutu buku layaknya Hatta. Saya hanyalah penikmat
buku. Menyeleksi buku di barisan rak. Menjinjing buku terpilih seraya
berlari-lari kecil menuju kasir. Memberi beberapa lembar uang kertas
lalu menerima kembalian. Mendapatkan ucapan terima kasih disertai
sunggingan senyum. Memeluk bungkusan berisi buku. Membuka plastik
pembungkus. Membubuhkan tanda-tangan di halaman terdepan. Membaca
buku saat hendak pergi tidur, saat menunggu antrian dan teman, saat
waktu luang. Memasukannya kedalam tas, membawanya kemanapun, menemani
aktifitas setiap hari. Tersenyum puas saat bertemu halaman terakhir.
Bersorak gembira saat merasa memilih buku yang tepat. Mencari judul
berikutnya untuk dibaca. Dan terus mengulangi hal yang sama
berulang-ulang, sebuah kenikmatan dari mengoleksi.
Menjadi
kolektor, bukan berarti gelap mata membeli semua buku. Proses
memilih, membawa pulang, lalu menyimpan buku disudut rak membutuhkan
kebijaksanaan. Memilih buku ibarat memilih masa depan. Saya percaya,
membaca buku sama halnya dengan membentuk pola pikir. Saya adalah
buku yang saya baca. Charles Jones pernah perkata, "Siapa kamu
hari ini akan sama dengan siapa kamu lima tahun mendatang, kecuali
dua hal yaitu dengan siapa kamu bergaul dan buku apa yang kamu baca"
Sedasyat itu, buku berkekuatan mengubah manusia.
Andai
apa yang dikatakan Charles Jones adalah kebenaran mutlak dan andai
buku yang saya baca tak mengalami metamorfosa, maka mungkin selamanya
saya akan menjadi Dea yang sama seperti 17 tahun lalu. Tetap
si-bungsu, anak bawang bagi dua kakak laki-laki dan satu kakak
perempuan yang setia menyewa cerita bergambar tentang sepakbola,
kuda, basket dan peperangan di taman bacaan terdekat. Menjadi orang
dewasa yang terperangkap pada pemikiran anak-anak, percaya bahwa kuda
bisa berbicara, sepakbola dan basket selalu bergerak slow motion,
meyakini tangan kosong bisa mengeluarkan api, dan menangis adalah
cara menyelesaikan masalah yang paling jitu.
Andai
buku yang saya baca masih sama seperti tujuh tahun lalu, maka saya
yang sekarang akan tetap menjadi si-kecil yang kekanak-kanakan dimata
Mamah dan Papap, yang selalu duduk manis membaca novel percintaan
remaja di sudut kamar. Terdoktrin berbagai macam kisah percintaan
masa muda. Cewe tomboy yang sederhana akan mendapatkan cowo keren,
pahlawan basket yang digilai teman sebaya, jatuh cinta artinya surga
dunia dan patah hati adalah neraka, suatu hari akan datang pangeran
tampan berkuda putih menawarkan perlidungan selamanya, dan hidup
adalah percintaan semata.
Tanpa
membeda-bedakan jenis buku, majalah, surat kabar, dongeng, cerita
bergambar, novel remaja, fiksi, non fiksi, semua buku adalah baik
asal berada di tangan orang yang tepat dan dengan pemahaman yang
tepat. Membaca buku dengan ilmu, memahami dengan ilmu, karena itulah
hakikat membaca buku. Maka diumur saya yang tak bisa lagi dibilang
remaja, setelah fase dongeng, cerita bergambar, lalu kemudian novel
percintaan remaja, saya perlu asupan jenis buku baru. Buku yang
ketika membalikan lembar demi lembarnya memberikan khazanah baru,
ilmu baru, wawasan baru, dan kekayaan baru, tentang hidup, tentang
politik, tentang hubungan antar sesama, dan tentang cinta yang lebih
universal.
Hari
ini saya membeli buku, lima tahun mendatang, sepuluh tahun mendatang,
lima belas tahun mendatang, dan seterusnya, saya ingin buku ini masih
bisa dibuka kembali, diambil dari rak buku di sudut rumah. Waktu boleh saja berlari, zaman pasti akan terus
berganti, tapi buku akan terus abadi. (DIR)
0 komentar:
Posting Komentar