Passion vs Jilbab

28 Maret 2012 0 komentar


Suatu ketika dalam pembicaraan via telpon genggam, saya bertanya kepada seorang teman tentang pertanyaan yang akhir-akhir ini sering sekali saya pertanyakan kepada diri saya sendiri dan pada akhirnya saya sadari bahwa saya membutuhkan pendapat orang lain untuk membantu menemukan jawaban dari pertanyaan ini.

“Menurut kamu apa kelebihan Dea yang ngga orang lain punya, khususnya yang perempuan lain ngga punya?” bertanyalah saya saat itu berharap segera mendapatkan jawaban yang saya cari akhir-akhir ini.

“Loh kok tumben nanya yang begituan?” jawabnya seraya menggoda saya.

“Kan kamu yang dulu pernah bilang, kalo Dea ikut tes wawancara kerja, nanti ditanya kelebihan dan kekurangaan yang kita punya. Kalo nanti Dea beneran ditanya itu harus jawab apa?” tanya saya lagi dengan suara yang terdengar sedikit manja.

“Ya tingal jawab aja kelebihan dan kekurangan kamu secara jujur, bukankah kamu adalah orang yang paling mengerti diri kamu sendiri?” dia menjawab sambil tertawa kecil khas dari seorang dia yang saya kenal.

“Justru itu, Dea ngerasa kurang mengenal diri sendiri. Sebagai orang yang akhir-akhir ini deket sama Dea, sedikit-banyak kamu pasti tau Dea kayak gimana. Ayo dong dibantu!” saya merajuk berharap dia segera membantu saya menemukan jawaban.

“Hmm..aku tau apa. Aku tau kelebihan kamu apa yang orang lain jarang punya kelebihan ini,” dia menjawab dengan intonasi yang terdengar begitu bersemangat.

“Apa? Ayo dong cepet kasih tau!” Saya bertanya penasaran tak sabar menunggu jawaban apa yang keluar dari mulutnya.

“Kamu itu jago maen basket, Dey. Iya, maen basket. Jarang loh cewek bisa maen basket apalagi kalo ngeliat dari ukuran tubuh kamu yang kecil,hehe,” dia tertawa menggoda.

“Lah, tapi kan itu ngga mungkin diomongin waktu lagi wawancara. Apa hubungannya bisa maen basket sama kerja? Lagian sekarang udah ngga maen, udah dikerudung mah malu mau maennya juga,” jawab saya dengan perasaan sedikit kecewa karena melihat ketidakseriusannya teman terdekat saya ini menjawab pertanyaan saya.

“Eh, Dey. Kamu berhenti maen basket kenapa? Gara-gara di kerudung?” tiba-tiba dia bertanya tentang sesuatu yang out of topic dari tema pembicaraan yang sedang kita bicarakan sedari tadi.

Saya terdiam. Pikiran saya berlarian ke masa lalu. Sekelebat bayangan tentang basket, jilbab, dan sosok ayah saya yang hadir tiba-tiba. Saya jadi teringat perjalaanan saya dulu sampai pada akhirnya saya memutuskan untuk berjilbab seperti
sekarang ini.

Sebagai anak yang bertubuh mungil yang sedari kecil lebih banyak menghabiskan waktu bermain dengan teman-teman berlainan jenis, saya tumbuh sebagai anak perempuan kecil yang cenderung tomboy, aktif, lincah, dan tidak bisa diam. Olah raga yang menjadi favorit saya ketika itu adalah basket ball. Dengan modal gerakan yang lincah dan reflek yang cukup bagus, kekurangan dari tubuh mungil yang saya miliki tidak menjadi sebuah masalah karena ternyata saya bisa mengimbangi permainan teman-teman lain yang memiliki tubuh yang jauh lebih tinggi dibanding saya.

Melihat kemampuan dan ketertarikan yang saya miliki, kedua orang tua saya yang saya panggil dengan panggilan kesayangan mamah dan papap, sangat mendukung olah raga yang begitu saya sukai itu. Berbagai fasilitas yang dapat mendukung kegemaran saya ini, mereka fasilitasi. Saya senang, saya bersemangat, dan saya begitu mencintai olah raga yang juga menjadi bagian hidup Kobe Bryant, pemain favorit saya ketika itu.

Beranjak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), ketertarikan saya dengan olah raga ini tidak memudar justru semakin bertambah. Saya memutuskan untuk menjadikan basket sebagai kegiatan ekstrakulikuler saya di sekolah. Bergabung menjadi tim inti dari tim basket sekolah, membuat saya mau tidak mau harus banyak berlatih agar kemampuan saya tetap terasah. Dalam seminggu, 3-4 kali saya berlatih, lelah memang tapi saya benar-benar menikmatinya ketika itu. Saya seperti menemukan passion dalam diri saya. Saya menyukai momen-momen ketika saya mejadi layaknya bintang di lapangan yang menjadi pusat perhatian semua orang, saya menyukai ikatan batin yang saya rasakan dengan teman-teman satu tim ketika di lapangan, saya menyukai kerja sama yang kami ciptakan dalam membentuk alur permain yang cantik, saya menyukai suara hentaman bola yang memantul atau bunyi sepatu yang berdecit akibat dari adanya gesekan dengan lantai lapangan yang mengkilat, dan saya benar-benar menyukai tepuk tangan yang bergemuruh yang membuat sekujur tubuh saya merinding dibuatnya ketika saya berhasil menjaringkan bola dan menambah poin berharga untuk tim saya. Ya, saya sangat menyukai itu semua, sungguh.

Suatu hari terjadi sebuah peristiwa yang pada umumnya dialami oleh wanita yang beranjak dewasa, menstruasi pertama. Saya masih ingat bahwa peristiwa itu terjadi ketika saya duduk sebagai pelajar kelas 2 SMP di suatu minggu pagi yang cerah. Ketika itu saya tidak kaget, karena saya sudah mempersiapkan diri saya akan datangnya peristiwa ini jauh-jauh hari setelah banyak mendengar cerita dari teman-teman dan kakak perempuan saya satu-satunya. Yang saya kagetkan adalah, sikap yang dilakukan ayah saya terhadap saya ketika itu.

“Wuah, anak bungsu papap sekarang udah gede ni yeeee,” gurau ayah saya ketika itu seraya memeluk saya. Saya masih ingat senyum meledek beliau, dengan sarung yang menggelayut miring, melingkari tubuh dari bahu kanan sampai pinggang sebelah kiri.

“Ih papap mah ngejek aja, malu ah,” ujar saya sambil tersenyum dan tersipu malu.
“Sini papap aja yang beli pembalutnya ya?” beliau menwarkan diri lalu kemudian pergi memenuhi janjinya.

Sikap ayah saya inilah yang membuat momen ini terasa istimewa. Sebagai seorang ayah, saya mengenal beliau sebagai sosok yang pendiam, bijaksana, sederhana, sabar, seorang problem solver, dan sangat berwibawa. Seumur hidup saya, saya belum pernah melihat beliau mencuci piring, menyapu, masak, apalagi sampai pergi ke toko kecil di dekat rumah untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Maka tidak heran kalau saya benar-benar terkejut melihat beliau yang pergi membelikan sesuatu untuk saya apalagi sesuatu yang sangat berbau-bau keperempuanan.

Saya sempat bertanya kepada ibu saya tentang sikap yang ayah saya lakukan. Dan ibu saya berkata “Bahwa tidak ada hal yang paling membahagiakan untuk seorang ayah ketika melihat anak gadisnya tumbuh dewasa, mendapatkan pendamping yang bertanggung jawab menjaga anak gadisnya, dan menjadi seorang ibu dari cucu-cucunya,” dan saya mengangguk-angguk dibuatnya.

Setelah peristiwa itu, saya merasa ayah saya mulai berbeda dalam memperlakukan saya, terlihat betapa beliau lebih memperhatikan dan menjaga saya, termasuk mengenai kegemaran saya bermain basket, mulai berbeda.

“De, kalo berangkat dari rumahnya jangan langsung pake celana pendek pake celana panjang dulu, masa anak gadis auratnya kemana-mana?” ayah saya berkata di suatu pagi ketika saya baru saja hendak berangkat latihan basket seperti hari-hari sebelumnya.

Sebagai pemain basket tentu saya terbiasa mengenakan kaos gombrong dan celana pendek selutut, oleh karenanya ketika saya mendengar perkataan ayah saya pagi itu, saya berkata lirih dalam hati “Apa ngga aneh ya kalo pake celana panjang dulu? nanti ribet ah gantinya.” Maka pagi itu saya tetap berangkat pergi latihan tanpa mengindahkan perkataan ayah saya.

Kemudian nasihat yang sama selalu saya dengar berulang-ulang setiap saya akan pergi latihan basket pada hari-hari berikutnya, dan lagi-lagi saya tidak pernah ambil peduli. Saya pernah berpikir ketika itu, bahwa ayah saya sudah tidak lagi mendukung saya menekuni olahraga ini sampai saya mendengar nasihat dari kakak perempuan saya satu-satunya.

“Kewajiban orang tua selain mendidik, juga harus menasehati anaknya. Papap nanti dosa kalo sama sekali ngga pernah nasehatin Dea demi kebaikan.” Nasehat lembut yang saya dengar hari itu dari mulut kakak saya yang sudah terlebih dulu berjilbab.

“Papap udah ngga ngedukung Dea maen basket lagi ya?” Tanya saya mencari pembenaran akan kecurigaan saya akhir-akhir itu.

“Bukan basketnya yang ngga didukung, tapi pakaiannya. Adalah wajib hukumnya mengenakan jilbab bagi wanita muslim tanpa terkecuali. Apalagi wanita yang sudah mendapatkan menstruasi. Setiap dosa yang diperbuatnya akan ditanggung diri sendiri tidak lagi menjadi tanggungan orang tuanya,” ujar kakak saya menasehati berharap saya segera luluh dan berubah.

Saya terdiam, sejujurnya saya meyakini dan mempercayai apa yang dikatakan oleh kakak saya adalah benar. Namun kecintaan saya terhadap basket membuat saya menjadi keras kepala. Yang terbayang di kepala saya ketika itu adalah tanggapan aneh teman-teman saya, ketidakpraktisan yang akan saya rasakan, atau ketakutan saya akan kehilangan dunia yang begitu saya cintai ini nantinya.

“De, papap kan lagi sakit. Mudah-mudahan dengan Dea jadi anak yang sholehah yang mau menutup auratnya, doa Dea akan kesembuhan papap bisa diijabah. Doa anak sholehah itu ampuh loh,” kakak saya tersenyum kemudian meninggalkan saya, seakan memberikan saya waktu untuk berpikir, mencerna, dan menghayati perkataannya.

Terbayang wajah ayah saya yang kian hari kian kurus digerogoti penyakit diabetes melitus yang dideritanya beberapa tahun terakhir. Terbayang akan kesabarannya dalam menghadapi masa sakitnya. Tak pernah ada keluh dan kesah yang keluar dari mulutnya. Bahkan ketika sepanjang malam beliau tak mampu untuk memejamkan mata karena rasa ngilu di sekujur tubuhnya, beliau masih saja tidak mengeluh dan tetap berharap bahwa sakit yang beliau derita akan menjadi penawar dosanya di akhirat nanti.

Saya akhirnya bertanya kepada diri saya sendiri “Benarkah dengan menutup aurat dan menjadi anak sholehah Allah akan mendengar doa-doa yang hampir sepanjang hari saya lantunkan demi kesembuhan papap?” Maka setelah itu saya perlahan-lahan mulai mengikuti nasehat kecil yang ayah saya selalu sampaikan kemarin-kemarin dengan menggunakan celana panjang ketika pergi latihan basket. Aneh memang pada awalnya karena memulai sesuatu yang tidak biasa saya lakukan, tapi saya niatkan dengan bulat dalam hati agar tidak tergoda untuk melanggar komitmen yang sudah saya buat sendiri.

Kemudian momen besar terjadi dalam kehidupan saya pada tahun 2004 ketika saya duduk di bangku kelas 3 SMP. Allah lebih menyayangi ayah saya, Ia memanggil ayahanda tercinta dari sisi kami sekeluarga. Saya kehilangan, benar-benar merasa kehilangan sosok panutan yang benar-benar layak menjadi panutan. Penyesalan pun tiba-tiba hadir, ketika saya belum melaksanakan permintaannya untuk mengenakan jilbab. Kenapa beliau pergi ketika beliau belum melihat betapa anak bungsunya sangat cantik mengenakan jilbab. Saya bukan menyesali kepergiaan beliau, tapi menyesali bahwa saya belum bisa mengabulkan permintaanya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjilbab, mengurangi perlahan-lahan kecintaan saya terhadap basket dan memfokuskan diri untuk melaksanakan kewajiban saya sebagai pelajar yang akan mengikuti ujian nasional. Mungkin terlambat karena ayah saya pada akhirnya belum pernah melihat saya berjilbab dengan benar, namun saya meyakini bahwa lebih baik terlambat berubah daripada tidak berubah sama sekali.

“Papap. mudah-mudahan dengan Dea berjilbab dan menjadi anak yang sholehah bisa menjadi amal sholeh untuk kita semua, untuk Dea, dan Papap disana. Karena Dea yakin salah satu amal yang tidak akan pernah putus adalah doa dari anak sholeh”

Sekarang, saya tidak pernah menyesal bahwa saya memilih mengenakan jilbab. Saya tidak meninggalkan passion yang dulu sangat saya bangga-banggakan demi keyakinan saya mengenakan jilbab, tetapi saya hanya mencoba untuk menyadarkan diri saya sendiri bahwa ada hal lain yang lebih harus saya laksanakan dan bersifat wajib hukumnya yang berhubungan langsung dengan Allah Sang Pencipta saya. Bahkan ketika duduk di bangku SMA saya diajak untuk bergabung memperkuat tim basket sekolah dengan iming-imingan tambahan dan saya menolak, tak ada penyesalan sama sekali. Sebenarnya saya bisa saja tetap bermain basket tanpa harus melepas jilbab, tetapi saya tahu betul kondisi keimanan saya sendiri. Daripada saya tergoda nantinya dan keyakinan bejilbab saya goyah, maka saya lebih memilih untuk menghindari hal-hal yang bisa menggoyahkan keyakinan saya. Toh saya tetap bisa bermain basket sewaktu-waktu semau saya, namun dengan kondisi yang berbeda tanpa terikat dan terbebani kepentingan orang lain.

“Mengikuti passion itu harus, tetapi berjilbab itu wajib !” (DIR)

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB