Tentang Perjalanan yang Selalu Merindukan Rumah

26 Mei 2013 0 komentar
"Life Traveler. Suatu Ketika di Sebuah Perjalanan. A travelogue by Windy Ariestanty."

Sebuah buku ber-cover sederhana, daun maple bergradasi warna yang jauh dari mencolok tergeletak di samping laptop saat tulisan ini dibuat. Beberapa hari terakhir saya memang sedang menikmati sajian  yang disuguhkan mbak Windy dalam bukunya. Buah tangan dari perjalanan panjang berkeliling Indochina dan belahan bumi lain. Alih-alih melanjutkan membaca sampai lembar terakhir, di halaman 209 saya justru terhenti. Mbak Windy berhasil menyadarkan saya tentang 2 hal. Perjalanan dan Rumah.
***

Beaerapa minggu yang lalu, saat saya menyempatkan diri untuk pulang ke rumah di kota kelahiran saya. Mamah yang menyambut kedatangan saya berteriak sedikit histeris melihat kondisi saya.

"Ya ampun, si bungsu pulang kenapa jadi kayak gini?" beliau berseru seraya membantu melepaskan jaket dan ransel yang saya kenakan.

"Assalamualaikum dulu kali, Mah," saya mengambil tangan kanan wanita yang semakin lama mulai mengeriput seiring bergeraknya waktu, saya kecup sejenak. Sungguh saya merindukan momen mencium telapak tangan mamah setiap hari, seperti yang sering saya lakukan semasa sekolah dulu.

"Walaikumsalam, sayang. Sok coba ceritain ke mamah sekarang. Kenapa kamu jadi kayak gini?" mamah bergidik ngeri melihat kondisi saya.

Saya tersenyum jahil, tak langsung menjawab. Saya memang sengaja membuat mamah menunggu, membiarkan beliau sedikit khawatir dan larut kedalam pemikiran tentang apa yang sudah saya lakukan. Biarlah, saya rindu dikhawatirkan oleh perempuan yang membesarkan saya dengan tetesan keringat tanpa lelah.

Semenjak saya mulai belajar membiayai hidup sendiri, mamah seolah mempercayakan segalanya ditangan saya sendiri. Sudah jarang  saya dengar omelan panjang saat saya menjengkelkan, seruan meperingati saat saya mencuri-curi kesempatan berbuat nakal, dan gerutuan kecil saat saya diam-diam melakukan kejahilan. Dulu, saat saya masih tinggal satu atap bersama beliau, semuanya menjadi makanan sehari-hari yang mau tak mau harus saya lahap. Sekarang, semuanya berganti menjadi nasihat-nasihat yang menenangkan dan mengingatkan. Sudah sepercaya itu kah mamah terhadap kedewasaan saya? Anggap saja, iya.

"Mamah nanya, bukannya dijawab malah senyam-senyum sendiri," segelas air putih sudah ada tepat di atas meja didepan saya, khusus dibawakan mamah untuk saya.

"Hehehe.. emang kenapa sih, Mah? Ngeliat Dea kayak yang ngeliat hantu," tanya saya santai dan kemudian meminum air dalam gelas yang sudah dibawakan mamah.

"Coba liat Dey, badan kurus, pipi jerawat semua, punggung kaki sama tangan item, belang kayak yang habis macul. Habis ngapain sampe jadi kayak gitu?"

"Biasa, anak muda. Menikmati hidup. Hehehe," jawab saya sekenanya.

Mengurai waktu beberapa bulan kebelakang, waktu saya dihabiskan dengan bekerja dari pukul 07.30 sampai 17.00 saat weekday dan bersenang-senang saat weekend tiba. Ya bersenang-senang, menghabiskan waktu dengan melakukan berbagai macam hal yang saya sukai, memanjakan diri sendiri, dan menikmati hidup yang indah ini. Bila seorang Windy Ariestanty begitu beruntung bisa meninggalkan pekerjaannya selama 2 minggu untuk berlibur mengililingi Indochina, maka buat saya yang tidak bisa seberuntung itu, 2 hari adalah waktu yang  lebih dari cukup untuk berlibur mengelilingi kehidupan dengan cara saya sendiri.

Pergi hiking ke gunung Tangkuban Parahu.
 
 
Mememanfaatkan diskon masuk ke sebuah tempat yang menyediakan berbagai macam wahana.
 

Merayakan ulang tahun dengan ulat, kepompong, dan kupu-kupu.
 
 
Liburan ke sebuah pulau yang merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Seribu.
 
 
Berkumpul dengan keluarga semasa kuliah.
 

Mengikuti family gathering yang diadakan kantor.
 

 Melakukan perjalanan singkat ke sebuah pantai di kota Garut.
 
 
Menikmati keindahan Niagara mini versi Indonesia.
 
 
Atau melakukan berbagai hal sederhana. Berkeliling ke pasar buku murah dengan teteh tercinta, mencari buku Om Pramoedya Ananta Toer yang ternyata susah sekali didapatkan. Berdiskusi diselingi debat sepanjang hari dengan partner. Bernyanyi-nyanyi bersama dengan rekan kantor. Meluangkan waktu dengan motor kesayangan dibengkel service motor. Mengelilingi kota Bandung sendirian di tengah hari hanya untuk mencari makan. Seharian melakukan hubungan intens dengan buku ditemani gemericik air. Bahkan tiduran diatas rumput didepan rumah disore hari. Masih banyak, masih banyak hal yang sudah, sedang, dan akan saya lakukan di setiap akhir pekan. Mungkin untuk semua itu, saya harus meminta maaf kepada mamah terlebih dahulu karena harus rela menunggu kepulangan saya lebih lama. Tidak lagi setiap minggu seperti semasa kuliah, mungkin saya akan pulang 2 minggu sekali, 4 bulan sekali, atau 6 minggu sekali. Namun saya pasti pulang ke rumah. Pasti.

"We just need to stay away for a moment to get back home" - Life Traveler

Lagi-lagi, bila mbak Windi harus pergi jauh ke negeri sebrang sampai pada akhirnya memutuskan untuk pulang, maka dengan kemampuan saya yang masih terbatas saya hanya bisa melakukan perjalanan-perjalanan kecil. Perjalanan. Saya hanya butuh berjalan sejauh yang saya mampu, menikmati pemandangan dan berbagai macam suguhan yang Pencipta sengaja ciptakan, dan merekamnya dalam ingatan. 

Tak peduli seterik apapun perjalanan yang saya tempuh hingga membakar kulit dan membuat saya belang-belang seperti yang mamah saya bilang. Tak peduli seberdebu apa jalan yang saya lewati hingga membuat pipi saya kemerahan penuh jerawat. Saya tak peduli atau belum terlalu peduli. Rasanya hidup saya terlalu sia-sia bila dihabiskan dengan sibuk menutup diri agar terhidar dari terik matahari. Dan rasanya hidup saya terlalu sia-sia bila dihabiskan hanya untuk menghitung banyaknya jerawat yang bersarang dipipi dan kemudian menggerutu betapa jeleknya saya sekarang. Lebih baik saya habiskan waktu saya untuk membuka diri berteman dengan indahnya matahari. Dan lebih baik saya habiskan waktu saya untuk menghitung banyaknya kenikmatan yang sudah Alloh beri dan bersyukur tiada henti. Biarkan saya berjalan, berjalan, dan terus berjalan, sampai letih, sampai lelah, sampai saya merindukan rumah. Maka saya akan berhenti sejenak untuk berbalik pulang, ketempat itu. Ketempat dimana kehangatan disajikan, dengan sambutan senyum penuh kelembutan. Mamah dan bangunan kecil itu.  Karena sejauh apapun saya berjalan, saya tak akan pernah lupa jalan pulang. Karena setiap perjalanan akan selalu merindukan rumah. (DIR)



0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB