Yogyakarta, Cinta yang Sederhana

21 Oktober 2013 0 komentar

“Perjalanan bukan hanya tentang seberapa lama, tetapi tentang seberapa besar kita menikmatinya.
Yogyakarta, matur nuwun sanget”
-Dini hari, 9 September 2013, dalam perjalanan pulang menuju Bandung-


***

Jam melingkar ditangan menujukan pukul 01.55 WIB. Sebagian besar penumpang sudah terlelap dalam  tidurnya dengan posisi nyaman masing-masing. Beberapa terlihat seringkali menggeliat kedinginan, memperbaiki posisi badan, mencari sedikit kehangatan. Sedini ini mata tak kunjung terpejam, ada hal yang dipikirkan, tentang rasa syukur kepada Yang Kuasa, tentang rasa bahagia yang tiada tara, tentang perjalanan yang terasa begitu luar biasa, tentang momen penuh makna, dan semuanya karena Yogyakarta.

Bila provinsi lain di Indonesia menentukan pemimpinnya dengan pemilihan umum, maka Yogyakarta merupakan satu-satunya provinsi yang pemimpinnya ditentukan berdasarkan urutan silsilah keluarga keraton, that’s why kota seluas 3.185,80 km­­­² ini disebut daerah istimewa. Dan sebutan istimewa ternyata bukan isapan jempol semata, malakukan perjalanan ke kota Gudeg benar-benar menyadarkan saya betapa istimewanya kota ini.

Keistimewaan terasa disetiap aspek yang disuguhkannya, tempat wisata, makanan, warga, dan budaya. Maka tak heran, akan banyak orang yang jatuh cinta, setelah menikmati suguhannya. Buat saya pribadi, kunjungan kali ini bukanlah kunjungan yang pertama, dan bukan pertama kali saya jatuh cinta pada kota ini. Jauh sebelumnya, ketika masih duduk di sekolah dasar di Magelang, saya sudah jatuh cinta. Hampir setiap akhir pekan, Yogyakarta menjadi tempat pilihan menghabiskan minggu sembari menemani Papap tercinta bekerja. Kantor BNI cabang Yogyakarta menyimpan banyak cerita, dan menjadi saksi bisu betapa manisnya masa kecil yang saya habiskan disini. Namun perjalanan baru-baru ini, merupakan perjalanan yang paling membekas dalam hati dan ingatan, betapa tidak, disini, dikota yang namanya diabadikan dalam sebuah lagu oleh Kla Project, saya belajar tentang kesederhanaan.
 
Kesederhanaan ini saya temukan secara tidak sengaja. Saat hendak pulang ke rumah teman yang dengan relanya menjadikan rumahnya sebagai  tempat singgah selama perjalanan di Yogyakarta, tiba-tiba saja saya dan empat orang teman menemukan pertunjukan musik di daerah Kauman dekat alun-alun Utara Yogyakarta. Jangan bayangkan sebuah pertunjukan musik yang dilengkapi panggung  megah, efek lighting yang mewah, sound sistem yang dilengkapi kecanggihan teknologi, kursi bersofa berjajar rapi, tiket masuk bertarif tinggi, dan superstar terkenal seantero negeri. Semua itu mungkin hanya bayangan tentang pertunjukan musik impian.

 
 Pertunjukan yang kami temukan hanya sebuah acara RW yang diselenggarakan untuk memperingati ulang tahun negeri kita tercinta, Republik Indonesia. Tak ada panggung yang megah, yang ada hanya panggung sederhana berlapis karpet yang mungkin dipinjamkan warga secara sukarela. Tak ada efek lighting yang mewah, yang ada hanya efek lampu temaram yang sederhana, sekedar untuk memberikan penerangan seadanya. Tak ada sound sistem yang dilengkapi kecanggihan teknologi, yang ada hanya sound sistem sederhana yang biasa dipakai di acara pernikahan biasa. Tak ada kursi bersofa yang berjajar rapi, yang ada hanya kursi-kursi sederhana berkaki besi yang posisinya tak lagi beraturan. Tak ada tiket bertarif tinggi, yang ada hanya kebebasan menonton pertunjukan tanpa perlu dikomersilkan. Dan tak ada superstar terkenal seantero negeri, yang ada hanya grup akustik sederhana yang kami sendiri tak yakin namanya apa karena disebutkan samar-samar, entah 'why not coustic' , 'way nut coustic' , atau 'why nut coustic'.

Namun, dengan segala keterbatasannya, dengan segala yang serba seadanya, dan dengan kesederhanaannya, ditemani dengan dinginnya hembusan angin, dilengkapi suasana sepi Yogyakarta menjelang tengah malam, dan bersama teman-teman perjalanan yang luar biasa, kami semua terhanyut kedalam suasana magis yang saat itu terasa romantis. 

 “Cause I’m leaving on a jet plane. I don’t know when I’ll be back again. Oh babe, I hate to go”

-Leaving On A Jet Plane-

Lagu karya Jhon Denver dinyanyikan dengan apik oleh sang vokalis, ditemani ketukan halus tam-tam, dilengkapi petikan gitar, dan diiringi dengan permainan biola yang lembut, semuanya menjadi kolaborasi yang pas. Sahabat saya yang tepat duduk disamping saya bahkan sampai menitikan air mata. Terharu dan bahagia, mungkin itulah yang ia rasakan sama halnya seperti yang saya rasakan pada saat itu.


Sampai sekarang setelah sebulan lebih berlalu, kebahagiaan itu masih tersisa. Masih terbayang-bayang alunan musik malam itu, bahkan demi melunasi kerinduan akan pertunjukan malam itu, kami berusaha untuk benar-benar mencari tahu grup akustik yang tampil malam itu. Kami selami internet untuk mencari data, semua keyword dicoba, sayangnya nama asli grup akustik tersebut masih menjadi misteri. 

Ada benarnya apa yang dikatakan orang, bahwa bahagia itu sederhana. Nyatanya, untuk membuat bahagia tak perlu konser musik yang mewah, cukup hanya menikmti pertunjukan tingkat RW yang ditemukan tanpa sengaja, dengan cuma-cuma tanpa biaya, ditemani dengan orang-orang tersayang, dengan rasa syukur akan takdir Alloh yang membawa kami ke Yogyakarta, kebahagiaan itu benar-benar terasa nyata. Intinya pada saat itu saya belajar, bahagia adalah tentang menikmati, bersyukur tiada henti, dan keyakinan dalam hati. Yogyakarta, terimakasih sudah membuat saya jatuh
hati. Suatu hari, saya pasti kembali. (DIR)

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB