Menghitung
mundur tiga minggu ke belakang, saya terbangun pagi hari, menoleh ke
celah jendela, hanya gelap, menggeliat diatas kasur sembari
membetulkan letak selimut, kembali bergulung dengan empuknya bantal
dan guling. Oh, saya ingin tidur lebih lama lagi.
Air
membasahi, dingin menjalar ke seluruh tubuh, dan mandi pagi adalah
saat pikiran saya berkelana. Rasanya hidup akan jauh lebih indah bila
saya bisa bangun saat matahari sudah agak tinggi di timur langit.
Saya
terbangun kemudian mengambil sepotong roti dan segelas susu. Sejenak
menonton kisah para selebritis di salah satu media elektronik,
mengganti saluran dari stasiun satu ke stasiun lain. Cukup. Kemudian
berjalan mendekati rak buku, mengambil yang belum tuntas dibaca,
membawanya ke atas kasur, sambil tiduran saya membaca berjam-jam.
Saya mengantuk, saya simpan bukunya, saya terlelap tidur siang.
Menjelang
sore terbangun karena perut keroncongan, bergegas menuju kamar mandi,
menghabiskan waktu lima menit untuk membuat tubuh menjadi segar,
berganti pakaian, mengambil kunci motor, dan berangkat meninggalkan
kamar dengan ransel berisi laptop dan buku yang bertengger di
punggung.
Berkeliling-keliling
sejenak menikmati suasana kota, mencari tempat pengisi perut.
Kendaraan roda dua yang saya kendarai akhirnya terparkir rapi di
salah satu tempat makan, saya berjalan masuk ke dalam mencari ruang
kosong, sudut ruangan saya tertuju. Beberapa sesekali melirik ke arah
saya lalu kemudian kembali tak acuh. Pasangan muda-mudi terlihat
dikelilingi cinta, mengumbar senyum bahagia selama bersama.
Saya
duduk di atas sofa empuk. Seorang gadis penjaga mendatangi meja
seraya menawarkan daftar menu hidangan juara versi mereka. Saya
memilah-milah sebentar dan memesan menu nasi goreng dan es teh
manis. Sang gadis meminta saya menunggu sejenak, sebelum kemudian
hilang dari pandangan mata.
Laptop
yang saya bawa sudah menyala di meja. Saya paling suka part ini.
Memutar pikiran, mereka adegan dari peristiwa-peristiwa lalu, mencari
referensi, lalu saya tenggelam memasuki alam yang saya sebut teori
“Relativitas Dea”.
Pikiran
saya sedang berlari, walau badan sebagai rumahnya sedang duduk manis
di sofa panjang. Dimata saya, sekeliling hanya diam, seolah seseorang
telah menekan sebuah tombol untuk menghentikan pergerakan semesta.
Anak kecil yang menumpahkan minuman di atas meja, pelayan yang
memecahkan piring karena terpeleset, dan seorang ibu yang menangis
meneriaki suaminya yang tertangkap basah menyembunyikan uang bulanan,
semuanya hanya sekelebat bayang tak bergerak. Betapa hiperbolanya.
Saya
menulis apa yang saya rasa, saya pikirkan, seperti tulisan yang
sekarang sedang kamu baca. Walaupun belum bisa menulis seindah kisah
Romeo dan Juliet, atau semenarik Davinci Code, saya suka menulis dan
sedang belajar menulis. Buat saya, itu cukup.
Selesai
menulis, membacanya berulang-ulang, sampai merasa tidak perlu ada
lagi yang harus ditambahkan sebuah titik pun, terbitlah tulisan
disebuah laman berjudul nama saya sendiri yang sudah didesain cantik
oleh partner saya. Hidup saya memang tak bisa lepas dari dia.
Saya
meraih telepon genggam di tas, kemudian segera menghubungi nomer yang
sudah dihapal luar kepala. Menyapa sebentar, kemudian memintanya
membaca tulisan saya. Satelah percakapan selesai, saya mulai melirik
makanan yang sudah terhidangkan di atas meja. Sudah dingin, saya tak
peduli. Menikmati hidangan dengan perasaan puas. Sekeliling saya
kembali bergerak bergairah. Teori “Relativitas Dea” menguap.
Tak
lama, telpon genggam saya berdering. Sudah saya tebak, pasti dari
dia. Beberapa lama kemudian kami terlibat perbincangan, apalagi kalau
bukan tentang tulisan saya. Dia yang perfeksionis tentu punya
segudang koreksi untuk saya. Mengangguk, meng-iya-kan, menolak,
mendebat, berdiskusi, itulah reaksi saya seperti biasanya.
Selesai
tentang tulis, tulisan, dan menulis, perut pun sudah kenyang,
ternyata inilah saatnya pulang. Dengan sepeda motor merah warnanya,
dengan perasaan berbeda saat berangkat. Pulang lebih bahagia.
Malam
tiba, saya punya banyak pilihan kegiatan, membaca, menikmati film,
membuat kerajinan, atau menggambar untuk model baju yang akan dijahit
minggu depan. Kemudian pergi tidur saat merasa lelah dan terlelap
dengan mimpi indah. Esok hari sudah ada rencana menyenangkan yang
harus dilakukan. Pagi harinya saya terbangun, dan dengan sebuah
tepukan, yang saya bayangkan tadi hanya bunga tidur.
Disinilah
saya sekarang, terjebak pada rutinitas menjadi pekerja dan mahasiswa
secara bersamaan. Mungkin saya sedang lelah, saya sedang jenuh. Lima
hari dalam seminggu bangun pagi, lalu pulang malam. Meninggalkan
kamar sebelum pukul tujuh, duduk di depan komputer, mengerjakan
administrasi proyek, meninjau pekerjaan yang sedang berlangsung di
proyek, mengoreksi bila ada yang kurang sesuai, berkomunikasi dengan
bapak kontraktor, menyapa tukang yang sedang bepeluh keringat,
kembali ke kantor, menunggu jam kantor usai.
Pukul
17.30 hujan deras, mengenakan mantel, berangkatlah saya ke sebuah
tempat yang dinamakan kampus, duduk manis mendengarkan mereka yang
bergelar doktor menjelaskan materi, bila sudah terlalu lelah, kadang
saya ketiduran. Selesai sudah mata kuliah hujan tak kunjung reda.
Menggunakan matel lagi saya beranjak pulang, melewati jalan yang sama
saat pulang maupun pergi,. Sebuah tempat pemakaman umum saat malam
hari, sendiri dan tak peduli. Di kepala saya, hanya ingin pulang,
merebahkan badan. Tenaga saya sudah habis hari ini, kerja, kuliah,
dan hujan menghisap energi.
Saya
bukan tidak mensyukuri kerjaan yang saya punya. Uang gaji saya cukup
untuk menghidupi kehidupan saya sendiri, sedikit memberi orang lain,
sedikit berfoya-foya, dan menabung. Saya bertemu banyak orang berkat
pekerjaan saya, saya menemukan banyak orang baik di bumi, yang
mengajak saya ngobrol, membuat tertawa, dan membuat saya merasa
hidup. Saya beruntung.
Sekali
lagi bilang, saya sedang lelah, saya sedang jenuh, dan yang pasti
saya sedang menunggu. Saya sedang menunggu sebuah masa. Masa dimana saya bisa terbangun kemudian melakukan apa yang saya suka. Masa dimana saya tidak membenci bangun pagi. Masa dimana saya tidak sendiri. Masa dimana
ketika saya sedang lelah, saya punya teman berbagi lelah dan
menyelesaikan masalah. Masa dimana saat saya tiba dikamar sudah ada
sesorang yang mengajak saya membaca bersama, bercerita, dan berbagi
hari. Masa dimana saya berbagi kasur namun sama sekali tak
berkeberatan.
Ilustrasi : wallpoper.com
0 komentar:
Posting Komentar