Masa Menunggu

02 April 2014 0 komentar
Menghitung mundur tiga minggu ke belakang, saya terbangun pagi hari, menoleh ke celah jendela, hanya gelap, menggeliat diatas kasur sembari membetulkan letak selimut, kembali bergulung dengan empuknya bantal dan guling. Oh, saya ingin tidur lebih lama lagi.

Air membasahi, dingin menjalar ke seluruh tubuh, dan mandi pagi adalah saat pikiran saya berkelana. Rasanya hidup akan jauh lebih indah bila saya bisa bangun saat matahari sudah agak tinggi di timur langit.

Saya terbangun kemudian mengambil sepotong roti dan segelas susu. Sejenak menonton kisah para selebritis di salah satu media elektronik, mengganti saluran dari stasiun satu ke stasiun lain. Cukup. Kemudian berjalan mendekati rak buku, mengambil yang belum tuntas dibaca, membawanya ke atas kasur, sambil tiduran saya membaca berjam-jam. Saya mengantuk, saya simpan bukunya, saya terlelap tidur siang.

Menjelang sore terbangun karena perut keroncongan, bergegas menuju kamar mandi, menghabiskan waktu lima menit untuk membuat tubuh menjadi segar, berganti pakaian, mengambil kunci motor, dan berangkat meninggalkan kamar dengan ransel berisi laptop dan buku yang bertengger di punggung.

Berkeliling-keliling sejenak menikmati suasana kota, mencari tempat pengisi perut. Kendaraan roda dua yang saya kendarai akhirnya terparkir rapi di salah satu tempat makan, saya berjalan masuk ke dalam mencari ruang kosong, sudut ruangan saya tertuju. Beberapa sesekali melirik ke arah saya lalu kemudian kembali tak acuh. Pasangan muda-mudi terlihat dikelilingi cinta, mengumbar senyum bahagia selama bersama.

Saya duduk di atas sofa empuk. Seorang gadis penjaga mendatangi meja seraya menawarkan daftar menu hidangan juara versi mereka. Saya memilah-milah sebentar dan memesan menu nasi goreng dan es teh manis. Sang gadis meminta saya menunggu sejenak, sebelum kemudian hilang dari pandangan mata.

Laptop yang saya bawa sudah menyala di meja. Saya paling suka part ini. Memutar pikiran, mereka adegan dari peristiwa-peristiwa lalu, mencari referensi, lalu saya tenggelam memasuki alam yang saya sebut teori “Relativitas Dea”.

Pikiran saya sedang berlari, walau badan sebagai rumahnya sedang duduk manis di sofa panjang. Dimata saya, sekeliling hanya diam, seolah seseorang telah menekan sebuah tombol untuk menghentikan pergerakan semesta. Anak kecil yang menumpahkan minuman di atas meja, pelayan yang memecahkan piring karena terpeleset, dan seorang ibu yang menangis meneriaki suaminya yang tertangkap basah menyembunyikan uang bulanan, semuanya hanya sekelebat bayang tak bergerak. Betapa hiperbolanya.

Saya menulis apa yang saya rasa, saya pikirkan, seperti tulisan yang sekarang sedang kamu baca. Walaupun belum bisa menulis seindah kisah Romeo dan Juliet, atau semenarik Davinci Code, saya suka menulis dan sedang belajar menulis. Buat saya, itu cukup.

Selesai menulis, membacanya berulang-ulang, sampai merasa tidak perlu ada lagi yang harus ditambahkan sebuah titik pun, terbitlah tulisan disebuah laman berjudul nama saya sendiri yang sudah didesain cantik oleh partner saya. Hidup saya memang tak bisa lepas dari dia.

Saya meraih telepon genggam di tas, kemudian segera menghubungi nomer yang sudah dihapal luar kepala. Menyapa sebentar, kemudian memintanya membaca tulisan saya. Satelah percakapan selesai, saya mulai melirik makanan yang sudah terhidangkan di atas meja. Sudah dingin, saya tak peduli. Menikmati hidangan dengan perasaan puas. Sekeliling saya kembali bergerak bergairah. Teori “Relativitas Dea” menguap.

Tak lama, telpon genggam saya berdering. Sudah saya tebak, pasti dari dia. Beberapa lama kemudian kami terlibat perbincangan, apalagi kalau bukan tentang tulisan saya. Dia yang perfeksionis tentu punya segudang koreksi untuk saya. Mengangguk, meng-iya-kan, menolak, mendebat, berdiskusi, itulah reaksi saya seperti biasanya.

Selesai tentang tulis, tulisan, dan menulis, perut pun sudah kenyang, ternyata inilah saatnya pulang. Dengan sepeda motor merah warnanya, dengan perasaan berbeda saat berangkat. Pulang lebih bahagia.

Malam tiba, saya punya banyak pilihan kegiatan, membaca, menikmati film, membuat kerajinan, atau menggambar untuk model baju yang akan dijahit minggu depan. Kemudian pergi tidur saat merasa lelah dan terlelap dengan mimpi indah. Esok hari sudah ada rencana menyenangkan yang harus dilakukan. Pagi harinya saya terbangun, dan dengan sebuah tepukan, yang saya bayangkan tadi hanya bunga tidur.

Disinilah saya sekarang, terjebak pada rutinitas menjadi pekerja dan mahasiswa secara bersamaan. Mungkin saya sedang lelah, saya sedang jenuh. Lima hari dalam seminggu bangun pagi, lalu pulang malam. Meninggalkan kamar sebelum pukul tujuh, duduk di depan komputer, mengerjakan administrasi proyek, meninjau pekerjaan yang sedang berlangsung di proyek, mengoreksi bila ada yang kurang sesuai, berkomunikasi dengan bapak kontraktor, menyapa tukang yang sedang bepeluh keringat, kembali ke kantor, menunggu jam kantor usai.

Pukul 17.30 hujan deras, mengenakan mantel, berangkatlah saya ke sebuah tempat yang dinamakan kampus, duduk manis mendengarkan mereka yang bergelar doktor menjelaskan materi, bila sudah terlalu lelah, kadang saya ketiduran. Selesai sudah mata kuliah hujan tak kunjung reda. Menggunakan matel lagi saya beranjak pulang, melewati jalan yang sama saat pulang maupun pergi,. Sebuah tempat pemakaman umum saat malam hari, sendiri dan tak peduli. Di kepala saya, hanya ingin pulang, merebahkan badan. Tenaga saya sudah habis hari ini, kerja, kuliah, dan hujan menghisap energi.

Saya bukan tidak mensyukuri kerjaan yang saya punya. Uang gaji saya cukup untuk menghidupi kehidupan saya sendiri, sedikit memberi orang lain, sedikit berfoya-foya, dan menabung. Saya bertemu banyak orang berkat pekerjaan saya, saya menemukan banyak orang baik di bumi, yang mengajak saya ngobrol, membuat tertawa, dan membuat saya merasa hidup. Saya beruntung.

Sekali lagi bilang, saya sedang lelah, saya sedang jenuh, dan yang pasti saya sedang menunggu. Saya sedang menunggu sebuah masa. Masa dimana saya bisa terbangun kemudian melakukan apa yang saya suka. Masa dimana saya tidak membenci bangun pagi. Masa dimana saya tidak sendiri. Masa dimana ketika saya sedang lelah, saya punya teman berbagi lelah dan menyelesaikan masalah. Masa dimana saat saya tiba dikamar sudah ada sesorang yang mengajak saya membaca bersama, bercerita, dan berbagi hari. Masa dimana saya berbagi kasur namun sama sekali tak berkeberatan.

Tidak, saya bukan ingin segera menikah. Saya tau Allah punya rencana yang indah buat saya, memilihkan waktu yang tepat buat saya. Saya hanya ingin meminta disabarkan dimasa menunggu ini, diberi kekuatan menghadapi jalan yang akan saya lalui, entah berliku, entah menanjak atau menurun, saya ingin dikuatkan. Saya ingin besok pagi saya bangun dengan bahagia. (DIR)

Ilustrasi : wallpoper.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB