Tegukan Keenam Belas

05 April 2014 0 komentar
Ilustrasi : pinterest.com



Satu gelas besar perasaan jeruk dipesan, ketika kamu bertanya hendak minum apa dipertemuan kita petang ini. Ini sudah tegukan kelima belas sejak setengah jam duduk bersama. Setelah hampir satu minggu  tidak bertemu muka, ini adalah saat tepat untuk mendengarkan kita saling bercerita. Pertanyaan seputar kegiatan kita selama beberapa hari lalu selalu menjadi topik pembuka.

Kamu mengawali cerita kita dengan mata berbinar ceria, senyum bahagia, dan diselingi tawa. Hidup begitu sempurna lima hari kebelakang, begitu katamu. Banyak bercengkrama dengan tumpukan bantal dan guling. Menikmati hangatnya bergulung selimut. Pergi ke tempat yang hanya dengan berdiri saja bisa membuat seluruh dunia menjadi milikmu. Memiliki hubungan spesial dengan buku-buku, membaca semaumu. Memanjakan mata dengan menonton film-film terbaik dunia. Membiarkan kelenjar sekresi bekerja optimal karena kamu mengayunkan raket dengan gesitnya. Menyelami kedalaman teknologi yang dipuja. Kamu terlihat bahagia.

Belum tiba bagian saya bercerita, namun hasratnya sudah menguap entah kemana. Hanya mendengarkan kamu bercerita, rasanya cukup. Saya ingin minum lagi.  Tegukan keenam belas, ternyata rasanya masam. Mungkin sang koki lupa memberinya pemanis rasa. Asam lambung meningkat, perih, tapi saya sudah hampir mati rasa.

Sementara kamu terus becerita tanpa jeda, degup jantung saya memburu. Nafas saya sesak, saya butuh pelampiasan. Tegukan ketujuh belas, setengah gelas sudah. Saya ingin lebih banyak minum. Saya sudah hampir tak kuasa menahan rasa yang entah apa namanya. Hati saya perih, sakit.

Tahukan kamu, saat memperhatikan wajah kamu yang berada tepat di seberang meja, saya sedang menahan gejolak jiwa. Kamu sedang berada di surga, sedangkan saya di neraka. Sungguh saya tersiksa. Saya ingin memuntahkan semua isi dalam gelas ini ke perut saya segera tanpa sisa. Saya melirik isi dalam gelas, sudah tinggal seperempat gelas lagi rupanya.

“Minumanmu ini tanpa gula, asam sekali. Bagaimana bisa kamu terus meminumnya sebanyak ini?” dalam sekejap minuman saya sudah berada ditangamu. Kamu mencobanya.

Kamu tau? Andai saja minuman ini tak saya minum sedari tadi, saya takut saya hilang kendali. Saya takut, saya benar-benar akan melemparkan isi gelas ini ke wajahmu. Membangunkanmu dari mimpi-mimpi indah yang sedari tadi kamu sodorkan ke telinga saya.

Saya ingin kamu terbangun. Sadari betapa dunia sedang menunggumu untuk menjadi ksatria. Ini bukan saat yang tepat untuk berleha-leha dan melakukan hal yang percuma demi kesenangan semata dan bersifat sementara. Seperti cerita yang kamu bagi petang ini. Bangunlah! Saya ingin kamu mulai mengambil langkah. Bangunlah! Saya mohon. Bangunlah!

Pada akhirnya saya tak kuasa. Biarlah, kamu memang sedang butuh beristirahat dari tuntutan dunia. Saya menyerah. Silahkan nikmati mimpimu yang bahagia. Sementara, saya berharap kamu sebentar lagi terjaga tanpa harus saya lempar isi gelas ini ke wajahmu. Baiklah, kamu lanjutkan ceritamu yang bahagia dan saya lanjutkan meneguk isi gelas ini hingga tak bersisa. (DIR) 

***

Satir

***

Andai saya adalah kamu. Kamu adalah saya. Esensinya bisa saja berbeda

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB