Melulu Tentang Perjalanan

18 Mei 2014 0 komentar
Getty Images/Walker and Walker

Perjalanan menjadi bukan hanya tentang perpindahan raga, perjalanan berarti pula perpindahan jiwa. Perjalanan bukan hanya sekadar wisata, tetapi juga pemikiran. Perjalanan tak mengenal aras.

Muda-mudi zaman saya, berbondong-bondong memburu tiket berharga ceria, mencari agen pendamping perjalanan terpercaya, dan menghamburkan berlembar-lembar uang untuk membeli peralatan pendukung agar senantiasa bergaya. Tertujulah kami pada berbagai macam tempat istimewa, mulai dari pantai yang menyuguhkan pesona bak surga, gunung tinggi menjulang dengan bunga abadi sebagai kepingan cerita, pulau-pulau ekslusif belum terjamah tangan manusia, wisata warisan budaya, bahkan mulai melirik negara tetangga.

Selama perjalanan berlangsung, beberapa dari kami senantiasa membagikan cerita seolah dunia harus tahu sedang dimana, sedang apa, bersama siapa, dan  kudapan apa yang kami santap. Dunia harus tahu.  Tautan-tautan bahagia dan foto-foto keindahan maha karya Tuhan yang kami unggah bertebaran hampir di seluruh jejaring sosial di mana kami aktif di dalamnya.

Penonton yang tak kuat iman, silakan isolasi diri dari jejaring sosial demi menghindari rasa iri mendera. Yang berhati baja sekaligus mulia, dengan senang hati membuka sajian cerita perjalanan, sesekali mengomentari, menekan ikon tanda cinta, atau senyum turut berbahagia. Yang tak ingin kalah saing, meraung-raung dalam hati, bersegera menyiapkan perjalanan balasan yang dirasa jauh lebih keren. Yang berpemikiran cuek, hanya menganggap sebagai cerita liburan biasa, tak ambil peduli, tak ambil hati.

Dan berawal dari gaya hidup itulah, saya merasa sedang terkungkung dalam sebuah era. Era yang hanya ada dua pilihan, mengikuti arus atau membuat arus. Arus perjalanan.

Pada dasarnya, saya adalah pemudi biasa yang semasa kecil tentu bercita-cita bisa menjelajahi semesta, jalan-jalan seraya memanjakan pikiran dan mata. Saya pun percaya, melakukan perjalanan wisata bisa menumbuhkan rasa cinta terhadap semesta dan syukur pada Yang Kuasa. Derasnya arus seharusnya bisa membawa saya untuk segera mengambil keputusan melakukan perjalanan wisata. Sayangnya saya harus berpikir berulang kali ketika memutuskan hendak pergi. Bukan tak ingin, tetapi belajar untuk menerima realita.

Saya terlahir dari keluarga sederhana, tidak kurang, tidak pula bergelimang harta. Andai kata saya adalah anak dari orang berada, memiliki waktu luang semaunya, tentu saya tak perlu berpikir panjang memutuskan pergi. Saya bekerja, terikat waktu dengan tempat dimana saya diberi gaji, menghidupi diri sendiri, pun biaya pendidikan. Berpikir berulang-ulang, memilah-milah, mempertimbangkan banyak hal, bukankah hal yang wajar? Keterbatasan kondisi ini membuat saya mulai berpikir, saya ingin tetap melakukan banyak perjalanan. Tetap ingin mewisatakan mata dan pikiran, mencari banyak pengalaman dan hal baru namun tetap sesuai dengan waktu dan kondisi finansial.

Sampai suatu hari di tanggal 23 April 2014, euforia perayaan hari buku dunia begitu terasa di jejaring sosial, kutipan-kutipan seputar buku terus bergantian memenuhi linimasa saya. Dan saya menemukan salah satu kutipan tercemerlang yang pernah saya baca, “Here's to books, the cheapest vacation you can buy Charlaine Harris.

Egreria Cum Laude, sebuah penghormatan luar biasa layak saya anugerahkan kepada Charlaine Harris yang sudah berhasil mengetuk pemikiran saya. Perumpamaan buku bagai sebuah perjalanan liburan sesungguhnya memang benar adanya. Membaca satu buku ke satu buku lain, layaknya melakukan perjalan satu ke perjalanan lain.

Getty Images / Cathrine MacBride

Buku menyajikan sebuah perjalananyang tak bisa didapatkan bila melakukan perjalanan. Perjalanan tak mengenal batas waktu. Masa lalu, masa kini, dan masa depan dapat dengan bebas kita jelajahi.

Saya pernah melakukan perjalanan bersama seorang pemuda bernama Winston ke tahun 1984, sebuah tahun penuh gejolak. Di tahun itu sosok buatan bernama Bung Besar diperlakukan layaknya tuhan. Titahnya seolah wahyu yang harus ditaati tanpa kecuali. Jangan sekali-kali menjadi oposisi, polisi pemikiran dengan senang hati menguapkan wujud mereka yang membangkang, menghilangkannya dari muka bumi. Tak akan ada ruang pribadi, sekali pun di kamar sendiri.

Pada masa itu, kebohongan berulang mencapai puncak kejayaannya, ketika semua orang dipaksa percaya 2+2 adalah 5. Sejarah tercipta oleh rekasaya penguasa, bukan berdasarkan peristiwa nyata. Saya dan Winston merasakan bagaimana rasanya hidup penuh ketakutan karena memiliki nurani yang tetap mengatakan bahwa 2+2 adalah 4. Sembunyi-sembunyi kami mencoba berlari-lari, namun sia-sia. Bung Besar selalu benar, walhasil Wiston tercuci otak menjadi kaum pencintanya, dan saya meringis.

Pernah pula saya menjelajahi pemikiran seorang wanita pribumi bernama Nyai Ontosoroh dari sudut Minke sang pemuda terpelajar pribumi, sekaligus menantu dari Nyai. Pada masa kolonial, wanita pribumi tak berkesempatan mengecap dunia pendidikan. Mereka buta aksara, sekadar baca dan tulis pun tak kuasa. Beberapa dari mereka sengaja dipersiapkan oleh orang tua sendiri untuk dijual kepada tuan-tuan Belanda. Sama halnya dengan Nyai Ontosoroh yang harus rela dijual, dijadikan budak sekaligus istri siri dari Tuan Millema. Dendam kepada ayahanda dan ibunda membuatnya tak mau berpasrah diri menjadi budak pemuas nafsu yang tak berhak waris.

Pemikiran Nyai luas, jauh melebihi budak pribumi lainnya. Ia belajar membaca dan menulis, belajar bahasa Belanda, membaca buku-buku berbahasa Belanda, belajar mengendalikan perusahaan, melakukan banyak hal selayaknya nyonya-nyonya Belanda yang terhormat. Ia bahkan lebih pintar dari wanita Belanda sesungguhnya. Perusahaan suaminya diambil alih, roda keuangan keluarga berada di bawah pengawasannya, dengan ia menjadi otaknya. Tak heran keluarga Nyai menjadi keluarga kaya raya.

Namun pada akhirnya, mereka yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah. Sebesar apapun usaha dan pemikirannya, Ontosoroh yang pribumi akan kembali menjadi pribumi tak berdaya. Tuannya meninggal di tempat pelacuran. Tak ada warisan yang ditinggalkan selain perusahan yang sudah menjadi atas namanya, bahkan Annelies gadis yang keluar dari rahimnya sendiri harus rela direbut paksa oleh istri sah dari sang tuan di Belanda, disiksa.

Begitulah, dari sebuah buku karya Pramoedya Ananta Toer, saya menjelajahi pemikiran Nyai Ontosoroh. Penjelajahan pemikiran ini mungkin hanya bisa didapat dari melakukan “perjalanan” dengan buku.

Hari ini saya ingin membuat arus baru. Arus ketika muda-mudi harus melakukan perjalanan sebanyak-banyaknya. Sentuhlah kekuasaan Tuhan dengan raga, dengan tubuh, dengan kaki, tangan, mata dan kepala sendiri. Nikmatilah sajian memesona dari alam semesta. Rasakanlah teduh hati ketika bercengkrama dengan nuansa magisnya Jogja, melankoli malamnya Bosscha, eksotiknya senja Santolo, aroma khasnya Kawah Putih, artistiknya bawah  laut Tidung, dan merdunya nyanyian air terjun Malela.
Namun muda-mudi pun harus mengalami “perjalanan” pemikiran. Selami pemikiran-pemikiran orang-orang hebat, bacalah buku-buku hebat, kumpulkanlah wawasan-wawasan baru.

Saat menulis tulisan ini, saya sedang menunggu perjalanan saya bersama teman-teman ke sebuah tempat. Sebuah gunung suci bagi suku Tengger di Jawa Timur, Bromo. Tak sabar rasanya ingin menikmati satu lagi keindahan semesta. Dan di sela-sela masa menunggu waktu keberangkatan, saya pun tetap melakukan “perjalanan”. To Kill a Mockingbird sebuah karya dari penulis legendaris dunia, Harper Lee, menjadi pilihan “perjalanan” saya kali ini. Menakjubkan rasanya menyelami lembar demi lembar sebuah buku yang dinobatkan sebagai salah satu buku terbaik sepanjang masa.

Esok saya akan melakukan perjalanan, sekarang pun saya melakukan “perjalanan”. Hidup saya akan dipenuhi berbagai macam perjalanan dan “perjalanan”. Setiap hari. Setiap hari. Hidup adalah melulu tentang perjalanan. (DIR)

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB