![]() |
Getty Images/Walker and Walker |
Perjalanan menjadi bukan hanya tentang perpindahan raga, perjalanan berarti pula perpindahan jiwa. Perjalanan bukan hanya sekadar wisata, tetapi juga pemikiran. Perjalanan tak mengenal aras.
Muda-mudi zaman saya, berbondong-bondong memburu tiket berharga
ceria, mencari agen pendamping perjalanan terpercaya, dan menghamburkan
berlembar-lembar uang untuk membeli peralatan pendukung agar senantiasa
bergaya. Tertujulah kami pada berbagai macam tempat istimewa, mulai dari pantai
yang menyuguhkan pesona bak surga, gunung tinggi menjulang dengan bunga abadi
sebagai kepingan cerita, pulau-pulau ekslusif belum terjamah tangan manusia,
wisata warisan budaya, bahkan mulai melirik negara tetangga.
Selama perjalanan berlangsung, beberapa dari kami senantiasa
membagikan cerita seolah dunia harus tahu sedang dimana, sedang apa, bersama
siapa, dan kudapan apa yang kami santap.
Dunia harus tahu. Tautan-tautan bahagia
dan foto-foto keindahan maha karya Tuhan yang kami unggah bertebaran hampir di seluruh jejaring sosial di mana kami aktif di
dalamnya.
Penonton yang tak kuat iman, silakan isolasi diri dari jejaring sosial demi menghindari rasa iri mendera. Yang berhati baja sekaligus mulia, dengan
senang hati membuka sajian cerita perjalanan, sesekali mengomentari, menekan
ikon tanda cinta, atau senyum turut berbahagia. Yang tak ingin kalah saing,
meraung-raung dalam hati, bersegera menyiapkan perjalanan balasan yang dirasa
jauh lebih keren. Yang berpemikiran cuek, hanya menganggap sebagai cerita
liburan biasa, tak ambil peduli, tak ambil hati.
Dan berawal dari gaya hidup itulah, saya merasa sedang terkungkung
dalam sebuah era. Era yang hanya ada dua pilihan, mengikuti arus atau membuat
arus. Arus perjalanan.
Pada dasarnya, saya adalah pemudi biasa yang semasa kecil tentu
bercita-cita bisa menjelajahi semesta, jalan-jalan seraya memanjakan pikiran
dan mata. Saya pun percaya, melakukan perjalanan wisata bisa menumbuhkan rasa
cinta terhadap semesta dan syukur pada Yang Kuasa. Derasnya arus seharusnya
bisa membawa saya untuk segera mengambil keputusan melakukan perjalanan wisata.
Sayangnya saya harus berpikir berulang kali ketika memutuskan hendak pergi. Bukan tak ingin, tetapi belajar untuk menerima realita.
Saya terlahir dari keluarga sederhana, tidak kurang, tidak pula
bergelimang harta. Andai kata saya adalah anak dari orang berada, memiliki waktu luang semaunya,
tentu saya tak perlu berpikir panjang memutuskan pergi. Saya bekerja, terikat
waktu dengan tempat dimana saya diberi gaji, menghidupi diri sendiri,
pun biaya pendidikan. Berpikir berulang-ulang, memilah-milah, mempertimbangkan
banyak hal, bukankah hal yang wajar? Keterbatasan kondisi ini membuat saya mulai
berpikir, saya ingin tetap melakukan banyak perjalanan. Tetap ingin mewisatakan
mata dan pikiran, mencari banyak pengalaman dan hal baru namun tetap sesuai
dengan waktu dan kondisi finansial.
Sampai suatu hari di tanggal 23 April 2014, euforia perayaan hari buku dunia begitu terasa di jejaring sosial, kutipan-kutipan seputar buku terus bergantian memenuhi linimasa saya. Dan saya menemukan salah satu kutipan tercemerlang yang pernah saya baca, “Here's to books, the cheapest vacation you can buy” ─ Charlaine Harris.
Egreria Cum Laude, sebuah penghormatan luar biasa layak saya anugerahkan kepada
Charlaine Harris yang sudah berhasil mengetuk pemikiran saya. Perumpamaan buku
bagai sebuah perjalanan liburan sesungguhnya memang benar adanya. Membaca satu
buku ke satu buku lain, layaknya melakukan perjalan satu ke perjalanan lain.
Buku menyajikan sebuah “perjalanan”yang tak bisa didapatkan bila melakukan perjalanan. “Perjalanan” tak mengenal batas
waktu. Masa lalu, masa kini, dan masa depan dapat dengan bebas kita jelajahi.
Saya pernah melakukan “perjalanan” bersama seorang pemuda bernama Winston ke tahun 1984, sebuah tahun
penuh gejolak. Di tahun itu sosok buatan bernama Bung Besar diperlakukan
layaknya tuhan. Titahnya seolah wahyu yang harus ditaati tanpa kecuali.
Jangan sekali-kali menjadi oposisi, polisi pemikiran dengan senang hati menguapkan
wujud mereka yang membangkang, menghilangkannya dari muka bumi. Tak akan ada
ruang pribadi, sekali pun di kamar sendiri.
Pada masa itu, kebohongan berulang mencapai puncak kejayaannya,
ketika semua orang dipaksa percaya 2+2 adalah 5. Sejarah tercipta oleh rekasaya
penguasa, bukan berdasarkan peristiwa nyata. Saya dan Winston merasakan
bagaimana rasanya hidup penuh ketakutan karena memiliki nurani yang tetap
mengatakan bahwa 2+2 adalah 4. Sembunyi-sembunyi kami mencoba berlari-lari,
namun sia-sia. Bung Besar selalu benar, walhasil Wiston tercuci otak menjadi kaum pencintanya, dan saya meringis.
Pernah pula saya menjelajahi pemikiran seorang wanita pribumi
bernama Nyai Ontosoroh dari sudut Minke sang pemuda terpelajar pribumi,
sekaligus menantu dari Nyai. Pada masa kolonial, wanita pribumi tak berkesempatan
mengecap dunia pendidikan. Mereka buta aksara, sekadar baca dan tulis pun tak
kuasa. Beberapa dari mereka sengaja dipersiapkan oleh orang tua sendiri untuk
dijual kepada tuan-tuan Belanda. Sama halnya dengan Nyai Ontosoroh yang harus
rela dijual, dijadikan budak sekaligus istri siri dari Tuan Millema. Dendam
kepada ayahanda dan ibunda membuatnya tak mau berpasrah diri menjadi budak
pemuas nafsu yang tak berhak waris.
Pemikiran Nyai luas, jauh melebihi budak pribumi lainnya. Ia belajar
membaca dan menulis, belajar bahasa Belanda, membaca buku-buku berbahasa
Belanda, belajar mengendalikan perusahaan, melakukan banyak hal selayaknya nyonya-nyonya Belanda yang
terhormat. Ia bahkan lebih pintar dari wanita Belanda sesungguhnya. Perusahaan
suaminya diambil alih, roda keuangan keluarga berada di bawah pengawasannya,
dengan ia menjadi otaknya. Tak heran keluarga Nyai menjadi keluarga kaya raya.
Namun pada akhirnya, mereka yang berasal dari tanah akan kembali ke
tanah. Sebesar apapun usaha dan pemikirannya, Ontosoroh yang pribumi akan
kembali menjadi pribumi tak berdaya. Tuannya meninggal di tempat pelacuran. Tak
ada warisan yang ditinggalkan selain perusahan yang sudah menjadi atas namanya,
bahkan Annelies gadis yang keluar dari rahimnya sendiri harus rela direbut paksa
oleh istri sah dari sang tuan di Belanda, disiksa.
Begitulah, dari sebuah buku karya Pramoedya Ananta Toer, saya
menjelajahi pemikiran Nyai Ontosoroh. Penjelajahan pemikiran ini mungkin hanya
bisa didapat dari melakukan “perjalanan” dengan buku.
Hari ini saya ingin membuat arus baru. Arus ketika muda-mudi harus
melakukan perjalanan sebanyak-banyaknya. Sentuhlah kekuasaan Tuhan dengan raga,
dengan tubuh, dengan kaki, tangan, mata dan kepala sendiri. Nikmatilah sajian
memesona dari alam semesta. Rasakanlah teduh hati ketika bercengkrama dengan nuansa magisnya Jogja, melankoli malamnya Bosscha, eksotiknya senja Santolo, aroma khasnya Kawah Putih, artistiknya bawah laut Tidung, dan merdunya nyanyian air terjun Malela.
Namun muda-mudi pun harus mengalami “perjalanan” pemikiran. Selami pemikiran-pemikiran orang-orang hebat, bacalah buku-buku hebat, kumpulkanlah wawasan-wawasan baru.
Namun muda-mudi pun harus mengalami “perjalanan” pemikiran. Selami pemikiran-pemikiran orang-orang hebat, bacalah buku-buku hebat, kumpulkanlah wawasan-wawasan baru.
Saat menulis tulisan ini, saya sedang menunggu perjalanan saya
bersama teman-teman ke sebuah tempat. Sebuah gunung suci bagi suku Tengger di
Jawa Timur, Bromo. Tak sabar rasanya ingin menikmati satu lagi keindahan semesta.
Dan di sela-sela masa menunggu waktu keberangkatan, saya pun tetap melakukan “perjalanan”. To Kill a
Mockingbird sebuah karya dari penulis legendaris dunia, Harper Lee, menjadi
pilihan “perjalanan” saya kali ini. Menakjubkan rasanya menyelami lembar demi lembar
sebuah buku yang dinobatkan sebagai salah satu buku terbaik sepanjang masa.
Esok saya akan melakukan perjalanan, sekarang pun saya melakukan “perjalanan”. Hidup saya
akan dipenuhi berbagai macam perjalanan dan “perjalanan”. Setiap hari. Setiap hari. Hidup adalah melulu tentang perjalanan.
(DIR)
0 komentar:
Posting Komentar