Sepenggal
cerita tentang melankoli malamnya Bosscha, empat belas tahun setelah sebuah
mimpi pernah terlahir. Mimpi masa kecil berhak dilunasi sampai
tuntas.
Harper
Lee dalam bukunya To Kill a Mockingbird, sedikit banyak menceritakan
kegilaan Finch bersaudara, Scout dan Jem, serta teman khusus musim
panas Dave, terhadap keluarga Boo Ridley yang tak pernah menginjakan
kaki keluar rumah. Tere Liye dalam Bidadari-bidadari Surga menuturkan
kegilaan Dalimunte akan fisika. Lintang seorang gadis peranakan
Prancis-Indonesia dalam Pulang karya Laila S Chudori, dikisahkan
tumbuh besar di Prancis dan tergila-gila pada Indonesia. Khaled
Hosseini pun tak ketinggalan dalam The Kite Runner, menarasikan Ali
dan Amir, sebagai dua bocah penggila layang-layang.
Lee,
Tere, Laila, dan Khaled sama-sama menyadari, betapa masa kanak-kanak
adalah masa penuh kegilaan. Mereka terinspirasi dengan bagaimana
anak-anak menggilai sesuatu hal, memimpikannya, melakukan berbagai
macam hal karenanya, kemudian melunasi mimpi-mimpinya.
Petualangan
Sherina, sebuah film karya Riri Riza dan Mira Lesmana menjadi
pemantik kegilaan, sehingga sebuah mimpi pernah terlahir dari seorang
gadis cilik bernama Dea, saya sendiri. Sherina dikisahkan sempat
mengunjungi tempat bernama Bosscha, dalam misi menyelematkan Sadam
sang sahabat yang tengah diculik. Dalam scene berlatar obsevatorium
tertua di Indonesia itu, Saya kecil kemudian terkagum-kagum bagaimana
Bosscha mampu menjangkau pemandangan langit yang kaya. Efeknya, saya
menggilai film yang dirilis tahun 2000 itu, lalu kemudian bermimpi
bisa mengunjungi Bosscha yang berkilo-kilo meter jauhnya. Kala itu
saya di Magelang, Bosscha berdiri gagah di Bandung.
Meski
waktu akhirnya perlahan-lahan mengikiskan mimpi masa kecil bernama
Bosscha, seiring bermunculan mimpi-mimpi baru karena mulai beranjak
dewasa, mimpi Bosscha nyatanya masih ada, bahkan bertahun-tahun
setelahnya, saya masih merasa berhutang mimpi.
Empat
belas tahun setelah sebuah mimpi telah terlahir, disanalah saya
berdiri, di hari Jumat, 9 Mei 2014. Ia berdiri gagah tepat dihadapan
saya, dinaungi birunya langit, disinari sinar mentari yang memancar
lembut, ditiup sepoinya angin, dan dikelilingi lingkungan hijau nan
asri. Bosscha, akhirnya saya mengunjunginya. Apa yang ditampilkan
dalam Petualangan Sherina, jauh lebih hebat dibandingkan dengan apa
yang dilihat oleh mata saya sendiri.
Sebagai
manusia yang sedikit banyak mengenal dunia konstruksi, sajian
konstruksi yang disuguhkan Bosscha membuat saya angkat topi. Kubahnya
dibuat berbentuk setengah bola yang cantik, bisa berputar 360
derajat, dan dapat dibuat membuka dan menutup. Lantai dalamnya dapat
dibuat naik dan turun sesuai keinginan. Penyangga teropong Zeiss yang
legendaris dibuat sedemikian rupa, sehingga mampu digerakan oleh
tenaga manusia, padahal menahan beban seberat 6 Ton. Sembilan puluh
satu tahun yang lalu, manusia sudah mampu menciptakan perpaduan
konstruksi baja dan beton sekokoh ini. Subhanallah, betapa saya ingin
memeluk bangunan ini seutuhnya.
Mengunjungi
Bosscha tanpa pengalaman melihat bintang dan bulan lebih jelas,
seperti membaca buku tapi tak tahu judul. Itulah mengapa saya rela
memesan tempat tiga bulan sebelumnya dan meliburkan diri dari kantor,
hanya untuk mendapatkan dua kursi yang terbatas.
Tak
hanya mengagumi ciptaan manusia, Bosscha membuat saya lagi-lagi
mengagumi Sang Pencipta. Lihatlah bagaimana Allah membuat Bosscha
malam hari begitu melankolis, sejuk, sunyi, temaram, dan syahdu.
Bintang-bintang dan planet bertebaran di atas kepala, tampak jelas
terlihat mata, terhindar dari polusi cahaya kota. Bulan, Venus, Mars,
Jupiter, Rasi Bintang, dan semua komponen langit memiliki posisi
masing-masing tanpa saling bertabrakan.
Rasi
bintang layang-layang yang hanya saya dengar dari cerita guru saat
sekolah dasar, serta saya bayangkan saat membaca Negeri Para Bedebah
yang mengisahkan Kadek sebagai pengikut taat rasi bintang tersebut,
akhirnya bukan lagi menjadi hal yang samar bagi pengelihatan dan
bayangan saya. Rasi bintang itu benar-benar saya temukan di tengah
melankoli malamnya Bosscha.
Ditemukan
dengan tak perlu menengadahkan kepala terlalu tinggi, ia berada di
pinggir langit. Empat bintang, tampak seperti layang-layang dengan
posisi agak sedikit miring. Kalau saya tarik bintang paling atas
menuju bintang paling rendah, maka disitulah arah selatan ditentukan.
Pertama mencari bintang ini, rasanya sulit. Bagaimana bisa kita tahu
sebuah rasi diantara beribu bintang yang berpijar memenuhi langit.
Namun sekali kita bisa menemukannya, merekam bentuknya dalam memori,
maka kemudian menemukan rasi ini bukanlah hal yang rumit. Seperti
saya yang jua menemukan rasi bintang ini di cerahnya langit Bromo
kemudian.
Bila
kemudian Lee menceritakan bagaimana akhirnya Finch bersaudara
melunasi mimpi masa kecilnya bertemu Boo Ridley setelah melewati
peristiwa hampir merenggut nyawa. Dalimunte yang dituturkan Tere Liye
mampu melunasi mimpi masa kecilnya hingga menjadi fisikawan setelah
melewati masa-masa dirundung kemiskinan. Laila yang dengan harunya
mengisahkan Lintang akhirnya mampu menginjakan kakinya di tanah air
Indonesia walaupun harus merasakan hawa panas pemberontakan di negeri
impian. Serta Khaled yang menarasikan bagaimana peliknya Ali dan Amir
melunasi mimpi masa kecilnya memenangkan kejuaran layang-layang.
Maka, sama halnya dengan Lintang, saya akhirnya menginjakan kaki di
Bosscha, melunasi mimpi masa kecil setelah waktu hampir saja membuat
lupa.
Tak
peduli seberbahaya apa, semiskin apa, sepanas apa, sepelik apa, dan
selama apa, jikalau bisa, mimpi masa kecil, berhak dilunasi sampai
tuntas. (DIR)
0 komentar:
Posting Komentar