Melunasi Mimpi Masa Kecil

04 Juli 2014 0 komentar
Sepenggal cerita tentang melankoli malamnya Bosscha, empat belas tahun setelah sebuah mimpi pernah terlahir. Mimpi masa kecil berhak dilunasi sampai tuntas.

Harper Lee dalam bukunya To Kill a Mockingbird, sedikit banyak menceritakan kegilaan Finch bersaudara, Scout dan Jem, serta teman khusus musim panas Dave, terhadap keluarga Boo Ridley yang tak pernah menginjakan kaki keluar rumah. Tere Liye dalam Bidadari-bidadari Surga menuturkan kegilaan Dalimunte akan fisika. Lintang seorang gadis peranakan Prancis-Indonesia dalam Pulang karya Laila S Chudori, dikisahkan tumbuh besar di Prancis dan tergila-gila pada Indonesia. Khaled Hosseini pun tak ketinggalan dalam The Kite Runner, menarasikan Ali dan Amir, sebagai dua bocah penggila layang-layang.

Lee, Tere, Laila, dan Khaled sama-sama menyadari, betapa masa kanak-kanak adalah masa penuh kegilaan. Mereka terinspirasi dengan bagaimana anak-anak menggilai sesuatu hal, memimpikannya, melakukan berbagai macam hal karenanya, kemudian melunasi mimpi-mimpinya.

Petualangan Sherina, sebuah film karya Riri Riza dan Mira Lesmana menjadi pemantik kegilaan, sehingga sebuah mimpi pernah terlahir dari seorang gadis cilik bernama Dea, saya sendiri. Sherina dikisahkan sempat mengunjungi tempat bernama Bosscha, dalam misi menyelematkan Sadam sang sahabat yang tengah diculik. Dalam scene berlatar obsevatorium tertua di Indonesia itu, Saya kecil kemudian terkagum-kagum bagaimana Bosscha mampu menjangkau pemandangan langit yang kaya. Efeknya, saya menggilai film yang dirilis tahun 2000 itu, lalu kemudian bermimpi bisa mengunjungi Bosscha yang berkilo-kilo meter jauhnya. Kala itu saya di Magelang, Bosscha berdiri gagah di Bandung.

Meski waktu akhirnya perlahan-lahan mengikiskan mimpi masa kecil bernama Bosscha, seiring bermunculan mimpi-mimpi baru karena mulai beranjak dewasa, mimpi Bosscha nyatanya masih ada, bahkan bertahun-tahun setelahnya, saya masih merasa berhutang mimpi.

Empat belas tahun setelah sebuah mimpi telah terlahir, disanalah saya berdiri, di hari Jumat, 9 Mei 2014. Ia berdiri gagah tepat dihadapan saya, dinaungi birunya langit, disinari sinar mentari yang memancar lembut, ditiup sepoinya angin, dan dikelilingi lingkungan hijau nan asri. Bosscha, akhirnya saya mengunjunginya. Apa yang ditampilkan dalam Petualangan Sherina, jauh lebih hebat dibandingkan dengan apa yang dilihat oleh mata saya sendiri.
Sebagai manusia yang sedikit banyak mengenal dunia konstruksi, sajian konstruksi yang disuguhkan Bosscha membuat saya angkat topi. Kubahnya dibuat berbentuk setengah bola yang cantik, bisa berputar 360 derajat, dan dapat dibuat membuka dan menutup. Lantai dalamnya dapat dibuat naik dan turun sesuai keinginan. Penyangga teropong Zeiss yang legendaris dibuat sedemikian rupa, sehingga mampu digerakan oleh tenaga manusia, padahal menahan beban seberat 6 Ton. Sembilan puluh satu tahun yang lalu, manusia sudah mampu menciptakan perpaduan konstruksi baja dan beton sekokoh ini. Subhanallah, betapa saya ingin memeluk bangunan ini seutuhnya.
Mengunjungi Bosscha tanpa pengalaman melihat bintang dan bulan lebih jelas, seperti membaca buku tapi tak tahu judul. Itulah mengapa saya rela memesan tempat tiga bulan sebelumnya dan meliburkan diri dari kantor, hanya untuk mendapatkan dua kursi yang terbatas.

Tak hanya mengagumi ciptaan manusia, Bosscha membuat saya lagi-lagi mengagumi Sang Pencipta. Lihatlah bagaimana Allah membuat Bosscha malam hari begitu melankolis, sejuk, sunyi, temaram, dan syahdu. Bintang-bintang dan planet bertebaran di atas kepala, tampak jelas terlihat mata, terhindar dari polusi cahaya kota. Bulan, Venus, Mars, Jupiter, Rasi Bintang, dan semua komponen langit memiliki posisi masing-masing tanpa saling bertabrakan.

Rasi bintang layang-layang yang hanya saya dengar dari cerita guru saat sekolah dasar, serta saya bayangkan saat membaca Negeri Para Bedebah yang mengisahkan Kadek sebagai pengikut taat rasi bintang tersebut, akhirnya bukan lagi menjadi hal yang samar bagi pengelihatan dan bayangan saya. Rasi bintang itu benar-benar saya temukan di tengah melankoli malamnya Bosscha.

Ditemukan dengan tak perlu menengadahkan kepala terlalu tinggi, ia berada di pinggir langit. Empat bintang, tampak seperti layang-layang dengan posisi agak sedikit miring. Kalau saya tarik bintang paling atas menuju bintang paling rendah, maka disitulah arah selatan ditentukan. Pertama mencari bintang ini, rasanya sulit. Bagaimana bisa kita tahu sebuah rasi diantara beribu bintang yang berpijar memenuhi langit. Namun sekali kita bisa menemukannya, merekam bentuknya dalam memori, maka kemudian menemukan rasi ini bukanlah hal yang rumit. Seperti saya yang jua menemukan rasi bintang ini di cerahnya langit Bromo kemudian.

Bila kemudian Lee menceritakan bagaimana akhirnya Finch bersaudara melunasi mimpi masa kecilnya bertemu Boo Ridley setelah melewati peristiwa hampir merenggut nyawa. Dalimunte yang dituturkan Tere Liye mampu melunasi mimpi masa kecilnya hingga menjadi fisikawan setelah melewati masa-masa dirundung kemiskinan. Laila yang dengan harunya mengisahkan Lintang akhirnya mampu menginjakan kakinya di tanah air Indonesia walaupun harus merasakan hawa panas pemberontakan di negeri impian. Serta Khaled yang menarasikan bagaimana peliknya Ali dan Amir melunasi mimpi masa kecilnya memenangkan kejuaran layang-layang. Maka, sama halnya dengan Lintang, saya akhirnya menginjakan kaki di Bosscha, melunasi mimpi masa kecil setelah waktu hampir saja membuat lupa.

Tak peduli seberbahaya apa, semiskin apa, sepanas apa, sepelik apa, dan selama apa, jikalau bisa, mimpi masa kecil, berhak dilunasi sampai tuntas. (DIR)

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB