Boleh jadi
apa yang ditulis Seno Gumira Ajidarma (SGA) adalah benar adanya: “Kata-kata
tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi
mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah
mendengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata tanpa peduli apakah ada
orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan
kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna.
Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti
artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya.” Begitulah Seno bernarasi dalam
cerpennya: Sepotong Senja Untuk Pacarku.
Dan
belakangan, saya kerap kehilangan kata untuk menjabarkan perihal alasan
perbuatan atau sekadar menjelaskan apa yang di mau. Apa yang ingin diutarakan
bisa saja tiba-tiba terendap dan kemudian menguap tanpa sempat terucap. Bisa
jadi saya sudah mulai kesulitan menjalin kata agar orang lain hendaknya sedikit
mengerti, atau barangkali kelelahan berkata-kata yang sama namun tak kunjung
jua mereka memahami arti.
Karenanya,
semusim ini biarlah saya memilih diam, membiarkan orang-orang berspekulasi terhadap
hidup yang saya jalani. Membiarkan mereka menjadi juri adil. Bukankah orang
lain memang lebih pandai menilai hidup kita dibanding kita sendiri yang
menjalani?
Saya merasa
menjadi sesosok Aku dalam sebuah buku berjudul: Semusim dan Semusim Lagi.
Konflik Aku yang dituturkan oleh Andina Dwifatma adalah sebuah penggambaran
yang pas bagaimana sebuah kata-kata penjelasan tidak dapat semerta-merta di terima oleh orang lain, meski apa yang Aku
ucapkan adalah sebuah kebenaran. Peristiwa magis yang dengan sadar dialami Aku,
nyatanya hanya dianggap khayalan bagi mereka yang merasa paling waras, Aku
dicemooh, lalu dianggap gangguan jiwa.
Apa salah Aku
yang tiba-tiba mendapat surat dari seseorang yang mengakuisasi diri sebagai
ayah kandung, meminta Aku mengunjunginya di sebuah kota dengan alasan tengah
sakit keras. Apakah Aku bodoh, meninggalkan wanita yang ia panggil ibu, namun
tak benar-benar berperan selayaknya ibu, karena sekali pun mereka tinggal satu
atap, tak pernah mereka habiskan waktu untuk bercakap. Apakah Aku lalai, dekat
dengan anak J.J Henri yang bernama Muara, bercinta, lalu jatuh cinta begitu
dalam tapi tidak dengan Muara.
Dan segala
kata-kata Aku dianggap kebohongan semata, saat Aku mulai berinteraksi dengan
Sobron, seekor ikan mas koki reinkarnasi dari suami Oma Jaya yang meninggal
diusianya yang ke-53 tahun. Sobron bercerita perihal Muara yang tak
sebenar-benarnya mencintai Aku, maka patahlah hatinya, ditambah pernyataan Sobron yang mengatakan
bahwa dalam kandungan Aku terdapat janin buah cinta terlarang dengan Muara.
Muara tak mengakui pernyataan Sobron, ia memaksa menggugurkan kandungan, Aku
tolak mentah-mentah idenya, sayang Muara terus memaksa, dan Sobron si Ikan koki
datang menolong dengan menyodorkan pisau, Aku ambil, dan Aku sematkan empat
tusukan di leher laki-laki yang paling dicintai di dunia, Muara.
Sampailah Aku
dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, ditanya mengapa Aku tega menusuk Muara. Bercerita ia tentang sebenar-benarnya apa yang
ia alami secara sadar. Ada kah orang yang jatuh percaya? Adakah yang mengakui keberadaan
Sobron si ikan mas koki sang penyulut? Tak ada, meski Aku tak berbohong bahkan
barang sejeda.
Benar saja
bukan? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata
orang lain. Termasuk Aku yang tak mau mendengarkan kenyataan, ia tak hamil dan
Sobron sejatinya hanyalah halusinasi, dan ia adalah pembohong. Lalu kebenaran
kata ada pada siapa? Terlampau banyak kata-kata di dunia, hingga tak ada yang
bisa dipercaya.
Karenanya,
semusim ini biarlah saya dalam diam, membiarkan orang-orang berspekulasi
terhadap hidup yang saya jalani. Toh sebanyak apa pun kata yang diucapkan,
belum tentu ada telinga yang siap mendengar. Biarlah, semusim ini saja seperti
ini, atau semusim, dan semusim lagi. (DIR)
“Satu-dua orang ikut tertawa melihat kelakuanku. Sisanya berjalan terus seperti dikejar waktu. Benar, setiap orang punya urusannya sendiri. Dan urusanku kali ini adalah menertawakan seisi semesta.” – (Andina Dwifatma, Semusim, dan Semusim lagi, Pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012)
0 komentar:
Posting Komentar