Dalam Diam: Semusim, dan Semusim lagi

16 Desember 2015 0 komentar
Boleh jadi apa yang ditulis Seno Gumira Ajidarma (SGA) adalah benar adanya: “Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya.” Begitulah Seno bernarasi dalam cerpennya:  Sepotong Senja Untuk Pacarku.

Dan belakangan, saya kerap kehilangan kata untuk menjabarkan perihal alasan perbuatan atau sekadar menjelaskan apa yang di mau. Apa yang ingin diutarakan bisa saja tiba-tiba terendap dan kemudian menguap tanpa sempat terucap. Bisa jadi saya sudah mulai kesulitan menjalin kata agar orang lain hendaknya sedikit mengerti, atau barangkali kelelahan berkata-kata yang sama namun tak kunjung jua mereka memahami arti.

Karenanya, semusim ini biarlah saya memilih diam, membiarkan orang-orang berspekulasi terhadap hidup yang saya jalani. Membiarkan mereka menjadi juri adil. Bukankah orang lain memang lebih pandai menilai hidup kita dibanding kita sendiri yang menjalani?

Dokumentasi Pribadi

Saya merasa menjadi sesosok Aku dalam sebuah buku berjudul: Semusim dan Semusim Lagi. Konflik Aku yang dituturkan oleh Andina Dwifatma adalah sebuah penggambaran yang pas bagaimana sebuah kata-kata penjelasan tidak dapat semerta-merta  di terima oleh orang lain, meski apa yang Aku ucapkan adalah sebuah kebenaran. Peristiwa magis yang dengan sadar dialami Aku, nyatanya hanya dianggap khayalan bagi mereka yang merasa paling waras, Aku dicemooh, lalu dianggap gangguan jiwa.

Apa salah Aku yang tiba-tiba mendapat surat dari seseorang yang mengakuisasi diri sebagai ayah kandung, meminta Aku mengunjunginya di sebuah kota dengan alasan tengah sakit keras. Apakah Aku bodoh, meninggalkan wanita yang ia panggil ibu, namun tak benar-benar berperan selayaknya ibu, karena sekali pun mereka tinggal satu atap, tak pernah mereka habiskan waktu untuk bercakap. Apakah Aku lalai, dekat dengan anak J.J Henri yang bernama Muara, bercinta, lalu jatuh cinta begitu dalam tapi tidak dengan Muara.

Dan segala kata-kata Aku dianggap kebohongan semata, saat Aku mulai berinteraksi dengan Sobron, seekor ikan mas koki reinkarnasi dari suami Oma Jaya yang meninggal diusianya yang ke-53 tahun. Sobron bercerita perihal Muara yang tak sebenar-benarnya mencintai Aku, maka patahlah hatinya,  ditambah pernyataan Sobron yang mengatakan bahwa dalam kandungan Aku terdapat janin buah cinta terlarang dengan Muara. Muara tak mengakui pernyataan Sobron, ia memaksa menggugurkan kandungan, Aku tolak mentah-mentah idenya, sayang Muara terus memaksa, dan Sobron si Ikan koki datang menolong dengan menyodorkan pisau, Aku ambil, dan Aku sematkan empat tusukan di leher laki-laki yang paling dicintai di dunia, Muara.

Sampailah Aku dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, ditanya mengapa Aku tega menusuk Muara. Bercerita ia tentang sebenar-benarnya apa yang ia alami secara sadar. Ada kah orang yang jatuh percaya? Adakah yang mengakui keberadaan Sobron si ikan mas koki sang penyulut? Tak ada, meski Aku tak berbohong bahkan barang sejeda.

Benar saja bukan? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain. Termasuk Aku yang tak mau mendengarkan kenyataan, ia tak hamil dan Sobron sejatinya hanyalah halusinasi, dan ia adalah pembohong. Lalu kebenaran kata ada pada siapa? Terlampau banyak kata-kata di dunia, hingga tak ada yang bisa dipercaya.


Karenanya, semusim ini biarlah saya dalam diam, membiarkan orang-orang berspekulasi terhadap hidup yang saya jalani. Toh sebanyak apa pun kata yang diucapkan, belum tentu ada telinga yang siap mendengar. Biarlah, semusim ini saja seperti ini, atau semusim, dan semusim lagi. (DIR)
“Satu-dua orang ikut tertawa melihat kelakuanku. Sisanya berjalan terus seperti dikejar waktu. Benar, setiap orang punya urusannya sendiri. Dan urusanku kali ini adalah menertawakan seisi semesta.” – (Andina Dwifatma, Semusim, dan Semusim lagi, Pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012)

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB