Setapak Langkah, Segenggam Ego

21 Desember 2015 1 komentar

Ilustrasi: Getty Images

Bagaimana melepaskan genggaman ia yang hampir berjalan berkilo-kilo meter jauhnya bersama? Kala sela-sela jari yang biasa saling mengisi sudah tak lagi presisi. Jari tangannya kian tumbuh, bersamaan dengan kepingan waktu yang kian menumpuk di sudut lemari. Sayangnya jari-jari tangan saya seolah terhenti pertumbuhannya, tepat di hari ketika sebuah pukulan tangannya mendarat di tubuh saya.

Kami bertemu sore itu,  ia mengulurkan tangannya, dan dengan enggan saya sisipkan tangan saya di sela-sela jarinya, ia menggenggam, dan berjalanlah kami menyusuri jalanan ditemani rintik hujan yang sendu. Sore itu. Melanjutkan perjalanan.

Setapak, dua tapak, setelah bertapak-tapak terlewati, saya memelankan langkah, dan ia tetap berjalan di irama semula. Terseretlah saya tertarik langkahnya dengan tangan masih dalam genggamannya. Tertinggal beberapa langkah di belakangnya membuat jengah dan lelah. Saya berhenti melangkah, sekuat tenaga pun menghentikan langkahnya. Erat genggaman tangannya sendirilah yang akhirnya menyadarkannya. Saya tak kuat berjalan lagi atau barangkali ego saya sudah tak mau berjalan bersama lagi. Ini perihal setapak langkah, segenggam ego.

Ia mensejajarkan posisi, bertanya mengapa langkah terhenti sedangkan perjalanan kami masih amat jauh.

Tangan saya sakit. Kesakitan digenggam sebegitu rupa. Tangannya tumbuh dengan sempurna, tapi tidak dengan tangan saya. Tangan besarnya bebas menggenggam, sedangkan tangan kecil ini tak mampu memegang apa-apa, ia hanya terjepit. Sakit.

Dengan tangan besar yang ia punya, ia berujar  akan mampu menjaga, melindung saya.
Saya menggeleng. Ini semua hanya mampu memuaskan ego kelaki-lakiannya yang seolah menjaga, namun sebenarnya omong kosong. Tangan besar itulah yang akhirnya membekaskan luka di sudut tubuh lusa lalu.  Tulang-tulang tangan yang kokoh nyatanya tak berfungsi menjaga tapi sempurna melukai.

Maaf. Maaf. Berkali-kali ia berucap maaf. Janjinya adalah tak akan mengulangi apa yang kemarin terjadi. Merayu agar mau berjalan bersama lagi. Perjalanan yang akan kami lewati masih terlalu jauh dan terlalu indah jika harus dihentikan disini, ia berusaha menguatkan.

Bukan tak mau bertahan. Tapi, layakkah memaksakan sesuatu yang tak boleh dipaksakan? Andai kami tetap berjalan bersama, langkah kami sudah tak mungkin lagi seirama. Erat genggaman tangan kami tak hanya melukai tangan saya, tapi jua melukai tangannya. Meski luka dirasakan berdua, tapi yakinkah akan sembuh bersama?

Pinta saya, jangan ia hambat pertumbuhannya, hanya karena menunggu saya yang lambat bertumbuh. Perjalanan yang kami tempuh boleh jadi berjarak sama, tapi kemampuan berkembang kami jurang berbeda. Lepaskanlah. Orang bilang, cara terbaik mencintai ialah melepaskan. Maka mulai di jalan ini, mari sama-sama belajar mengikhlaskan.

Di dunia ini, tak ada yang benar-benar milik kita. Dia, saya, dan kami, tak sebenar-benarnya memiliki. Dia adalah miliknya sendiri, dan saya adalah kepunyaan sendiri. Dia adalah egonya sendiri, dan saya adalah kepunyaan ego saya sendiri. Gengaman tangan kami berdua, terlampau sempit untuk dibiarkan menampung dua ego.

Lepaskanlah. Tumbuhlah dengan keinginan sendiri, bukan karena beban tangan saya yang tersemat pula ditangannya. Biarlah saya berjalan sendiri tanpa uluran tangan yang mulai hitungan. Biarlah jari-jari ini bebas, bukan terpaksa berdampingan lalu bergesekan.

Tak lelah, dia berusaha meyakinkan. Bertanya dapatkah saya menemukan jalan tanpa genggamannya, sedangkan saya mengidap penyakit buta arah yang akut. Siapakah nanti yang akan menuntun, sesaat sesudah saya terjatuh dan terluka? Sedangkan keteledoran adalah nama tengah saya. Tidakkah tangan saya kedinginan, tanpa genggamannya?

Haruskah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya sendiri belum pernah mengalami? Cara yang paling mudah menjawab pertanyaannya yaitu dengan membiarkan saya mengalaminya sendiri. Boleh jadi saya tersesat, tapi saya tak akan berhenti meraba sampai di garis tujuan. Biar saja saya terjatuh, terluka, bahkan kedinginan, asal tidak bergandengan karena keterpaksaan.

Saya melihatnya mengumpat-ngumpat. Persis sebelum tangan yang dulu hangat itu mendarat di kulit, kala itu. “Ah! Ini pasti karena pukulan tanganku saat itu. Sungguh tak disengaja. Sebenar-benarnya bukan inginku melukaimu. Ah, sialan! Sialan!”

Pukulan sudah mendarat, luka sudah membekas, umpatan mudah terucap, ingatan telah merekam. Tak ada lagi yang perlu disesali. Andai kemarin tak terjadi, mungkin saja ia akan terjadi hari ini, besok, atau mungkin lusa, ya kan?

Ia menahan tangis di hadapan saya. Urat-urat lehernya tampak sedikit-sedikit. Genggaman tangannya yang sedari tadi tak dilepasnya, menguat. Ada amarah yang disimpan, saya tahu.


“Tegakkan wajahmu, simpan tangismu, dan lepaskan genggamanmu. Sadarlah. Perjalanan kita sudah tak murni lagi. Andai kamu mampu menyimpan umpatan dan sumpah serapah kala itu. Andai tanganmu terkunci tak mendarat di pipi. Andai kamu mau sejenak saja melepaskan genggaman, dan membiarkanku menjelaskan. Laki-laki yang kutemui di ujung jalan adalah adik kandungmu yang selama ini kau cari dalam perjalanan ini. Setelah kau tampar aku dan mengumpatku seenak-udelmu, adik yang ingin kau temui, pergi berlari ketakutan seolah melihat setan. Lalu untuk apa perjalanan ini diteruskan? Perlukah memulai pencarian dan perjalanan dari awal lagi, disaat akhirnya aku tahu sedang dengan laki-laki macam apa aku berjalan? Bukankah kita lebih baik pulang ke rumah, dan melemparkan egomu ke jamban?” Sekali ini saya mengumpat. Sialan. (DIR)

1 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB