Bagaimana melepaskan genggaman ia
yang hampir berjalan berkilo-kilo meter jauhnya bersama? Kala sela-sela jari
yang biasa saling mengisi sudah tak lagi presisi. Jari tangannya kian tumbuh,
bersamaan dengan kepingan waktu yang kian menumpuk di sudut lemari. Sayangnya
jari-jari tangan saya seolah terhenti pertumbuhannya, tepat di hari ketika sebuah
pukulan tangannya mendarat di tubuh saya.
Kami bertemu sore itu, ia mengulurkan tangannya, dan dengan enggan
saya sisipkan tangan saya di sela-sela jarinya, ia menggenggam, dan berjalanlah
kami menyusuri jalanan ditemani rintik hujan yang sendu. Sore itu. Melanjutkan
perjalanan.
Setapak, dua tapak, setelah
bertapak-tapak terlewati, saya memelankan langkah, dan ia tetap berjalan di irama
semula. Terseretlah saya tertarik langkahnya dengan tangan masih dalam
genggamannya. Tertinggal beberapa langkah di belakangnya membuat jengah dan
lelah. Saya berhenti melangkah, sekuat tenaga pun menghentikan langkahnya. Erat
genggaman tangannya sendirilah yang akhirnya menyadarkannya. Saya tak
kuat berjalan lagi atau barangkali ego saya sudah tak mau berjalan bersama lagi. Ini perihal setapak langkah, segenggam ego.
Ia mensejajarkan posisi, bertanya
mengapa langkah terhenti sedangkan perjalanan kami masih amat jauh.
Tangan saya sakit. Kesakitan
digenggam sebegitu rupa. Tangannya tumbuh dengan sempurna, tapi tidak dengan
tangan saya. Tangan besarnya bebas menggenggam, sedangkan tangan kecil ini tak
mampu memegang apa-apa, ia hanya terjepit. Sakit.
Dengan tangan besar yang ia
punya, ia berujar akan mampu menjaga,
melindung saya.
Saya menggeleng. Ini semua hanya
mampu memuaskan ego kelaki-lakiannya yang seolah menjaga, namun sebenarnya
omong kosong. Tangan besar itulah yang akhirnya membekaskan luka di sudut tubuh
lusa lalu. Tulang-tulang tangan yang
kokoh nyatanya tak berfungsi menjaga tapi sempurna melukai.
Maaf. Maaf. Berkali-kali ia
berucap maaf. Janjinya adalah tak akan mengulangi apa yang kemarin terjadi.
Merayu agar mau berjalan bersama lagi. Perjalanan yang akan kami lewati masih
terlalu jauh dan terlalu indah jika harus dihentikan disini, ia berusaha
menguatkan.
Bukan tak mau bertahan. Tapi,
layakkah memaksakan sesuatu yang tak boleh dipaksakan? Andai kami tetap
berjalan bersama, langkah kami sudah tak mungkin lagi seirama. Erat genggaman
tangan kami tak hanya melukai tangan saya, tapi jua melukai tangannya. Meski luka
dirasakan berdua, tapi yakinkah akan sembuh bersama?
Pinta saya, jangan ia hambat
pertumbuhannya, hanya karena menunggu saya yang lambat bertumbuh. Perjalanan yang
kami tempuh boleh jadi berjarak sama, tapi kemampuan berkembang kami jurang
berbeda. Lepaskanlah. Orang bilang, cara terbaik mencintai ialah melepaskan. Maka
mulai di jalan ini, mari sama-sama belajar mengikhlaskan.
Di dunia ini, tak ada yang
benar-benar milik kita. Dia, saya, dan kami, tak sebenar-benarnya memiliki. Dia
adalah miliknya sendiri, dan saya adalah kepunyaan sendiri. Dia adalah egonya
sendiri, dan saya adalah kepunyaan ego saya sendiri. Gengaman tangan kami
berdua, terlampau sempit untuk dibiarkan menampung dua ego.
Lepaskanlah. Tumbuhlah dengan
keinginan sendiri, bukan karena beban tangan saya yang tersemat pula ditangannya.
Biarlah saya berjalan sendiri tanpa uluran tangan yang mulai hitungan. Biarlah
jari-jari ini bebas, bukan terpaksa berdampingan lalu bergesekan.
Tak lelah, dia berusaha meyakinkan.
Bertanya dapatkah saya menemukan jalan tanpa genggamannya, sedangkan saya
mengidap penyakit buta arah yang akut. Siapakah nanti yang akan menuntun,
sesaat sesudah saya terjatuh dan terluka? Sedangkan keteledoran adalah nama
tengah saya. Tidakkah tangan saya kedinginan, tanpa genggamannya?
Haruskah menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang saya sendiri belum pernah mengalami? Cara yang paling
mudah menjawab pertanyaannya yaitu dengan membiarkan saya mengalaminya sendiri.
Boleh jadi saya tersesat, tapi saya tak akan berhenti meraba sampai di garis
tujuan. Biar saja saya terjatuh, terluka, bahkan kedinginan, asal tidak
bergandengan karena keterpaksaan.
Saya melihatnya mengumpat-ngumpat.
Persis sebelum tangan yang dulu hangat itu mendarat di kulit, kala itu. “Ah!
Ini pasti karena pukulan tanganku saat itu. Sungguh tak disengaja.
Sebenar-benarnya bukan inginku melukaimu. Ah, sialan! Sialan!”
Pukulan sudah mendarat, luka
sudah membekas, umpatan mudah terucap, ingatan telah merekam. Tak ada lagi yang
perlu disesali. Andai kemarin tak terjadi, mungkin saja ia akan terjadi hari
ini, besok, atau mungkin lusa, ya kan?
Ia menahan tangis di hadapan
saya. Urat-urat lehernya tampak sedikit-sedikit. Genggaman tangannya yang
sedari tadi tak dilepasnya, menguat. Ada amarah yang disimpan, saya tahu.
“Tegakkan wajahmu, simpan
tangismu, dan lepaskan genggamanmu. Sadarlah. Perjalanan kita sudah tak murni
lagi. Andai kamu mampu menyimpan umpatan dan sumpah serapah kala itu. Andai
tanganmu terkunci tak mendarat di pipi. Andai kamu mau sejenak saja melepaskan
genggaman, dan membiarkanku menjelaskan. Laki-laki yang kutemui di ujung jalan
adalah adik kandungmu yang selama ini kau cari dalam perjalanan ini. Setelah
kau tampar aku dan mengumpatku seenak-udelmu, adik yang ingin kau temui, pergi
berlari ketakutan seolah melihat setan. Lalu untuk apa perjalanan ini
diteruskan? Perlukah memulai pencarian dan perjalanan dari awal lagi, disaat
akhirnya aku tahu sedang dengan laki-laki macam apa aku berjalan? Bukankah kita
lebih baik pulang ke rumah, dan melemparkan egomu ke jamban?” Sekali ini saya
mengumpat. Sialan. (DIR)
1 komentar:
Daebak..Daebak..
Posting Komentar