Merayakan Duka Cita dengan Baik

01 Juni 2016 1 komentar
Dari seberang telpon sana, seseorang terisak, "Dey, aku sudah enggak kuat."

***


Sesuatu yang buruk pasti tengah terjadi. Bagaimana mungkin gadis yang saya kenal begitu kuat dan mandiri tiba-tiba menelpon sembari terisak menahan tangis.

Pertama kali bertemu dan berkenalan dengannya, saya sudah dapat menyimpulkan, bahwa ia gadis yang ramah dan menyenangkan. Dalam pertemuan pertama ia mampu membuat lawan bicaranya seolah-olah telah berteman sejak lama. Dari itulah pertemanan kami terajut dengan baik, bahkan amat sangat baik. 

Kemudian dari kisah-kisah yang ia bagikan kepada saya, selain ramah dan menyenangkan, ternyata ia juga seorang gadis yang tangguh. Sejak sekolah menengah akhir, dengan mandiri ia tinggalkan kampung halaman, yang artinya juga harus meninggalkan Ibu dan keluarganya, demi mendapatkan pendidikan, dan mendapat pekerjaan yang lebih baik. Terpisah kota, bahkan pulau, sedikit pun tak menjadikan ia gentar menghadapi dunia.

Sampai kami bertemu dan bersahabat, jika saya bertanya apakah ia rindu Ibu dan kampung halaman? Ia akan menjawab betapa ia rindu, tapi ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Ibu, karena justru akan membuat keluarganya jatuh khawatir. Saat hari raya tiba, seingat saya, ia pulang merayakan bersama keluarga tak lebih dari sebanyak dua jari. Andai itu semua terjadi kepada saya, saya tak mampu membayangkan, sudah seberapa banyak rindu yang ditimbun, mungkin telah menggunung setinggi gunung. Ah, siapa pula yang mampu menghitung banyaknya rindu?

Dan ketika akhirnya saya mendengar ia menangis, tersedu dan tersedan, perasaan saya pun rasanya ikut pecah. Apakah itu yang membuat gadisku merapuh hingga air matanya meluruh?

"Dia pergi meninggalkanku tanpa penjelasan," dan kemudian tangis gadisku meledak. Saya yang berada jauh dari posisinya sekarang, begitu merasa bersalah. Harusnya saya berada di dekatnya, menenangkannya, atau meski saya tak bisa membantu apa-apa, minimal saya memeluknya. Oh, gadisku yang tangguh.

Sejak itu, kami lebih intens berkomunikasi. Saya hanya ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja, sekaligus mengingatkannya, bahwa ia tak pernah menghadapi sakit sendiri. Ia bercerita banyak, dan tugas saya disini memang untuk menjadi pendengarnya, menyiapkan telinga, menguatkannya, dan mungkin sedikit masukan. Saya berusaha sebisa mungkin untuk tak menasehati, karena saya tak mau sok tahu terhadap hidup seseorang. Ia mungkin bercerita banyak kepada saya, tapi bukan berarti saya bebas mengatur pilihan hidupnya.

Dari ceritanya, saya benar-benar pantas mengatakan ia kuat. Ia berjuang mempertahankan hubungan jarak jauhnya, yang waktu untuk saling bertemu muka saja tak banyak. Ia begitu sabar menunggu. Ia belajar amat sering perihal mengerti dan memaklumi. Ia memupuk percaya setiap hari, mengunting curiga dan ketakutan, menyirami harinya dengan lembaran asa. Ia mengeluh sekali-dua kali, tapi ia berdoa beribu-ribu kali lebih banyak. Saking kuat hatinya, meski ia akhirnya telah dikecewakan, tak pernah sekali pun ia membenci.


"Aku tidak bersedih, aku hanya sedang berusaha untuk menjadi orang yang baik. Karena seseorang pernah berkata padaku, tetaplah berbuat baik, meskipun hasilnya tidak baik. Karena di dunia ini tidak ada kebaikan yang sia-sia," ujarnya kala itu.

Setiap orang mungkin pernah mengalami patah harapan, kecewa, terluka, dibohongi, dikhianati, atau bahkan disia-siakan. Tetapi berapa banyak diantaranya yang mampu melewati semuanya tanpa sumpah serapah, tanpa doa-doa buruk mengangkasa, tanpa hati yang mendendam?

Dan gadis tangguhku berhasil, ia melewati kesedihannya. Mungkin banyak air mata yang tumpah, tenaga yang terkuras habis, mata membengkak, nafsu makan yang tiba-tiba hilang, luka yang menganga lebar, batin yang berjalan terbata-bata. Namun ia melalui semuanya. Ia merayakan duka citanya dengan baik. Merayakan duka cita dengan cara baik-baik.

***

"Dey, Alhamdulillah. Ia melamar ke rumah."

***

Benar saja katamu, gadisku. Bahwa di dunia ini tak ada kebaikan yang sia-sia. Bahwa mungkin karena kebaikanmu itulah yang mampu menarik ia yang menjauh untuk kembali. Bahwa mungkin karena kebaikanmu itulah yang mampu melembutkan hati yang sempat mengeras menjadi luluh. Bahwa mungkin karena kebaikanmu itulah ia menjadi tersadarkan. Bahwa mungkin ada banyak wanita yang mau menerima kekurangan, tetapi tak banyak yang mampu tetap bersikap baik meski sempat diperlakukan kurang baik.

Apa pun itu, masa berkabung dan duka cita kemarin sudah berlalu. Saya tentunya ingin menghadiahimu pelukan, atau mungkin beberapa kecupan. Di masa depan nanti, barangkali beberapa masalah akan coba-coba menghampiri lagi dan kesedihan mungkin akan turut serta bersamanya. Tetapi bukankah kamu sudah tahu apa penawarnya? Merayakan duka cita dengan baik. Merayakan duka cita dengan cara baik-baik. Saya pikir, kamu ahlinya. Meski begitu, saya selalu berdoa. Semoga hanya hal-hal baik yang menanti di depan sana, untuk gadisku yang baik hatinya.

***

Oh iya, tiba-tiba saya teringat pernyataan gadis tangguh dan baikku, saat masa-masa berkabung dulu, "Aku kepengin tanya sambil melihat mata dan ekspresinya, is he really feeling and living better without me?"

Mungkin ia bisa mencoba hidup lebih baik tanpamu, tapi ia akan merugi jika saja ia tak bersamamu. Karena itu artinya ia sudah menyia-nyiakan sebuah kehidupan yang baik. Dan kehidupan baik itu, bernama namamu, yang terpancar dari hatimu. (DIR)

Ilustrasi: Pinterst








1 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB