Perjalanan Penuh Kesyukuran

28 Mei 2016 1 komentar
"Neng, harus tahu. Aa itu selalu berusaha untuk mandiri, atau lebih tepat suka sok-sok-an mandiri. Kalau mau dibantu, selalu bilang bisa mengerjakannya sendiri. Kalau lagi di luar kota, Ibu sama Papah mau nengok, mau jenguk, pasti ditolak. Katanya, Mamah sama Papah takut cape. Padahal kan namanya orang tua, pengin tahu anaknya tinggal layak apa tidak, makan cukup atau tidak, sehat atau tidak. Tapi ya Aa gitu orangnya, susah meski sudah dibujuk-bujuk."
 
Bertiga. Saya, Mamah Kakang, dan Papah Kakang jalan-jalan di Bandung, mencari kebutuhan saya yang dianggap masih kurang-kurang. Hari itu, meski akhir pekan, Kakang tidak bisa ikut bergabung bersama kami, karena tetap harus mengawasi lapangan dan mesin. Sepanjang perjalanan, Ibu dan Papah cerita bagaimana Kakang dalam bersikap di keluarga. Saya yang duduk di bangku belakang tiba-tiba senyum-senyum sendiri menyimaknya.

"Kalau di rumah, yang selalu ngga bisa lihat makanan sisa, ya Aa. Setiap makan, ngambil nasi sedikit, tapi lauknya pasti penuh. Kalau ada ayam sama ikan, keduanya pasti diambil bersamaan, belum sambel, pepes, oseng, semua lauk ngga ada yang kelewat dilahap. Ibu senang  kalau masak buat Aa, karena masakan yang Ibu masak tidak mubazir. Dan tambah senang melihat Aa makan, karena selalu terlihat begitu nikmat. Makanya, kalau habis pergi jauh dan lama, dan Aa pulang, sebisa mungkin pasti ibu masak. Kesukaannya Aa sambel goreng kentang, perkedel, pepes tahu, jengkol, apalagi kalau sambel jangan ditanya, harus pasti wajib ada"

"Neng mungkin udah tahu, Aa orangnya kadang sering keras kepala. Kalau dia sudah milih A, ya pasti A. Papah pasti geleng-geleng kalau melihat Aa sudah punya kemauan dan sudah memutuskan sesuatu. Prinsipnya kuat pisan, Neng. Selama prinsip dan pilihannya dianggap benar, siapa pun itu yang menghalangi, jangan harap untuk didengar."

"Aa kalau lagi di rumah dan libur panjang,  selalu menyempatkan waktu berkumpul bersama muda-mudi di sekitar rumah. Teman-temannya sering minta bantuan ini itu, disuruh bikin ini itu. Kadang Ibu suka marah. Masa lagi liburan masih aja harus ngerjain kerjaan orang lain. Pulang ke rumah pasti malem, ya karena habis membantu teman-temannya itu. Tapi Aa pasti jawab, kapan lagi bisa bantu teman kalau bukan sedang libur."

"Ibu tuh bukannya apa-apa, tapi takutnya Aa sakit, karena tiap hari pulang malem. Aa kan sering masuk angin, Ibu ngga tega lihatnya. Apalagi Aa suka keringat berlebih. Bukan penyakit kan ya, Neng, kalo keringatnya banyak gitu? Dulu waktu diperiksa dokter katanya bukan penyakit, mudah-mudahan saja Aa sehat selalu ya, Neng."

"Neng, nanti titip bajunya Aa, ya. Aa susah kalau disuruh beli baju, celana, atau sepatu. Bikin kaos Bukuisme juga kan katanya biar bisa punya baju tapi ngga usah beli. Beli sepatu juga baru mau kalau sudah benar-benar ngga punya sepatu buat dipakai. Neng, nanti meski Aa menolak beli, kalau sedang ada rezekinya, belikan saja ya, karena kalau ngga gitu nanti Aa ngga akan beli-beli, ngga akan punya-punya."
 
"Diantara anak-anak Ibu, Aa tuh yang paling suka ngga enakan kalau soal uang. Dulu, setiap dikasih uang, pasti selalu protes kenapa uang sakunya banyak-banyak. Terus, Aa ambil paling banyak 30%, sisanya dikembalikan lagi ke Ibu. Padahal memang jatahnya Aa segitu, sama kayak adik dan teteh-nya. Dipaksa nerima, ngelak. Kalau nanti butuh uang pasti bakal minta, gitu katanya. Ibu suka inisiatif saja mengirim sisa bekalnya ke ATM. Minimal kalau tiba-tiba ada keperluan mendadak Aa bisa ambil langsung di ATM, tidak perlu minta ke Ibu. Bukannya apa-apa, Ibu khawatir Aa ngga laporan kalo uangnya habis. Ibu takut Aa merasa kekurangan." 

"Waktu kemarin hilang dompet dan celana, kalau bukan Neng yang cerita ke Ibu, mungkin sampai sekarang Ibu ngga akan tahu. Aa mah tidak terbuka, semua masalah suka disimpan sendiri, pusing sendiri. Kalau ditanya ada apa, pasti jawabnya ngga ada apa-apa. Makanya Ibu nitip Aa ke Neng. Selama ini kan Aa selalu nyerita kalau ke Neng. Neng, jangan ragu, jangan sungkan cerita ke Ibu atau Papah. Pokoknya harus terbuka, kan nanti bakal jadi keluarga. Jangan sama tertutupnya kayak Aa. Ya, Neng, ya? Jangan tertutup, harus terbuka.  InsyaAllah kalau bisa, sebisa mungkin Ibu dan Papah pasti bantu."

Ya Allah, Kakang. Saya menjerit dalam hati, rasanya geli, lucu, ingin tertawa, terharu, bangga, juga bersyukur.

Bersyukur, punya Kakang yang sering dianggap sok-sok-an mandiri. Saya yakin itu bukanlah sebuah "sok", tapi benar-benar keinginan untuk bersikap mandiri, enggan menyusahkan orang lain. Dan semuanya memang tercermin dari sikap yang Kakang ambil selama ini. Mudah-mudahan Allah menyokong cita-cita kita berdua untuk bisa mandiri secara utuh, berdiri di atas kaki sendiri, ya, Kang. Atau berdiri di atas kaki kita berdua juga boleh, agar bebannya makin ringan kita rasakan berdua. Hehehe.

Bersyukur yang bakal menemani saya makan setiap hari, yang menghabiskan masakan saya adalah Kakang. Meski saya masih belajar memasak, dan hasil masaknya belum enak-enak amat, sejauh ini Kakang tidak pernah protes, masakan saya tetap dihabiskan sampai habis. Pernah saya masak olahan ayam, yang ternyata ayamnya masih belum matang sempurna, masih agak-agak keras dan bau anyir. Saya sendiri tak sanggup memakannya. Kakang sambil meledek-ledek iseng, senyum-senyum ketawa, melahap masakan saya dan dihabiskan sempurna. 

Saya yang melihatnya jadi merasa bersalah sekaligus terharu bahagia. Ya ampun, Kang. Harusnya tidak perlu dipaksakan kalau memang tidak mau. Sampai segitunya. Tapi terima kasih ya, karena sudah menghargai saya yang tak sempurna dan masih belajar ini. Demi Kakang yang amat sangat menghargai makanan, saya siap belajar memasak supaya bisa jadi koki paling hebat di rumah kita nanti.

Bersyukur, berpasangan sama Kakang yang dianggap keras kepala karena punya prinsip. Laki-laki memang tercermin dari keteguhannya memegang prinsip. Karena dari itulah ia mampu menentukan sikap. Saya kenal Kakang cukup baik, kalau boleh dibilang bahkan sangat baik. Saya kenal betul prinsip-prinsip apa yang ia pegang sebagai pedoman. InsyaAllah ia memegang prinsip dilandasi dasar agama kami. Ia tak mudah terbawa arus, apalagi trend masa kini. Tidak heran, ia sering dianggap kolot, aneh, dan sangat keras kepala. Meski begitu, Kakang tidak pernah menutup telinga terhadap perkembangan zaman juga masukan  orang lain. Namun, jikalau ia merasa apa yang kita sarankan jauh dari prinsip yang ia pegang, siap-siap sajalah kecewa diacuhkan. Tetap jadi laki-laki berprinsip. Karena saya suka dan karena prinsip-prinsip kebaikan yang Kakang pegang, memang perlu dipertahankan, atau jikalau bisa ditularkan.

Bersyukur barsama Kakang yang selalu berusaha membantu orang lain, selalu pengin bermanfaat. Walaupun ketika ia memutuskan untuk membantu, malah jadi membuat kami khawatir, karena Kakang selalu terlalu totalitas dengan masalah bantu-membantu, meski lelah, ia akan membantu sampai tuntas selesai, sampai dirinya sendiri kadang menjadi tak terurus. Tapi mudah-mudahan dengan itu, Allah meninggikan derajatnya. Semogia ia tetap sehat, tetap berkarya, tetap berhati mulia untuk bermanfaat bagi sekitar. Semoga kebaikan berbagi ini dibalas berlipat-lipat lebih-lebih.

Bersyukur juga, punya Kakang yang amat menjunjung kesederhanaan. Bersyukur punya Kakang yang tidak terlalu banyak mau.  Bersyukur punya Kakang yang amat sangat pandai bersyukur dengan apa yang dimiliki sekarang. Bersyukur punya Kakang yang ngga pernah iri sama kepunyaan orang lain. Bersyukur punya Kakang yang jarang sekali ngeluh. Bersyukur, bersyukur sekali punya Kakang yang punya cara sendiri dalam menikmati hidup, dalam kesederhaan, dalam kesyukuran, betapa saya bersyukur bisa banyak belajar dari Kakang.

Dan, saya amat sangat bersyukur karena saya dipilih sebagai tempat ia menceritakan segalanya. Karena dibalik diamnya, dibalik tertutupnya ia terhadap orang lain, ia selalu datang kepada saya untuk menceritakan apa yang ada dalam diam dan dalam ketertutupannya. Saya justru jadi belajar begitu banyak. Belajar mengenai prinsip, belajar mengenai pandangan hidup, belajar mengenai pemikiran, belajar begitu banyak hal yang tidak bisa saya dapat dari orang lain. Terima kasih, sudah percaya sama saya. Terima kasih sudah menumpahkan semuanya kepada saya. Saya mau ia tetap bercerita, bernyanyi, bergumam, bersiul, berbisik bersama saya, terus, terus, seterusnya sama saya.

Saya jadi banyak bersyukur hari itu. Bisa mengenal Kakang lebih banyak, lebih dekat dengan Ibu dan Papah, dan jadi lebih rindu ingin berdiskusi dengan Kakang. Kemudian  perjalanan penuh kesyukuran ini diakhiri dengan nasihat penutup yang ingin saya amalkan di kehidupan bersama Kakang nanti.

"Saling rukunlah kalian, saling berbagi, saling memaklumi, saling memahami, saling menyayangi, saling memaafkan, saling mendukung, saling sabar, dan salinglah bersyukur.  Terutama bersifat terbukalah kalian dengan keluarga, entah ke keluarga Neng, atau keluarga Aa. Karena Ibu dan Papah tahu, keduanya dari kalian sangatlah amat tertutup. Jangan malu untuk bicara dan berbagi, jikalau nanti ada masalah menghampiri. Karena kami sebagai keluarga, juga orang tua kalian tentu akan selalu membantu dan mendoakan kalian."

Untuk yang ini, saya bersyukur. Bersyukur sudah diperhatikan dan dipercaya sebegitu besar sama Ibu dan Papah, meski saya dan Kakang masih sering acuh tak acuh, masih banyak sekali kekurangan. Terima kasih,  untuk mau percaya. Semua kepercayaan, harapan, doa, segalanya yang Ibu dan Papah kasih buat kami, InsyaAllah akan menjadi bekal yang baik  untuk kami melangkahkan kaki bersama.


Oh, iya. Terima kasih juga Ibu dan Papah, yang sudah mau memberi restu kepada saya untuk mengabdi kepada anak laki-laki satu-satunya. Anak Ibu dan Papah yang saya panggil Kakang ini, begitu cukup, dan saya siap tercukupkan karena berdampingan dengan Kakang yang pandai merasa tercukupi. (DIR)
Karena kebahagian berada diantara yang berlebihan dan kekurangan. Ia yang bernama kebahagian datang dari sebuah kecukupan.

1 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB