Sebandung Asa

09 Agustus 2016 2 komentar

sebagaimana semua penyakit pasti ada obatnya
semua pertanyaan, pasti ada jawabnya
jika aku tak bisa menjawab
waktu pasti bisa

(Chandra Egy Setiawan, Sebandung Asa: Jawab)
Benar saja apa yang kau tulis dalam buku antologi puisimu. Pada akhirnya setiap tanya yang tak bisa kita jawab, kelak waktu yang mampu menjawabnya.

 ***

Saat pertama kukenalkan kau kepada khalayak ramai, semua bertanya-bertanya mengapa aku memilihmu. Tak sedikit yang bertanya secara terang-terangan langsung kepadaku, beberapa melalui perantara sahabat, sisanya bahkan kepada mamahku. Katanya: apa gerangan yang kau miliki, sehingga aku begitu teguh membersamaimu walau bangku Sekolah Menengah Atas sudah lama berlalu? Kala itu, aku tak mampu menjawab pertanyaan yang ditanyakan begitu bertubi-tubi. Atau kalau pun aku mampu, aku yang memang tak mau. 

Bagiku beberapa pertanyaan memang tercipta untuk wajib dijawab segera, sedangkan beberapa pertanyaan lagi terlontar bukan untuk dijawab oleh kata tapi dengan sebuah bukti nyata. Dan pertanyaan tentangmu, adalah salah satu pertanyaan yang lebih bijak bila dijawab tanpa mulut berbusa-busa. Rasanya aku tak perlu mejelaskan panjang lebar tentang mimpimu, sosokmu, pemikiranmu, idealismu, kelucuanmu, kebaikan hatimu, pendidikanmu, kekeras kepalaanmu hanya untuk membuat pandangan mereka terhadapmu sebaik pandanganku terhadapmu.

Aku dan kamu pada saat itu belum mampu menjadi apa-apa, meski setiap harinya kita tengah berproses menjadi apa-apa. Tidakkah kita hanya akan dianggap muda-mudi dimabuk asmara yang belum mengenal rupa dunia sesungguhnya? Karenanya, aku menjawab dengan diam, senyum, dan sesekali tertawa. Sebuah jalan menjawab tanya, demi menghormati mereka dan juga kamu.

Waktu berjalan. Kala kedua, aku akhirnya mengumumkan bahwasanya kita akan melangsungkan pernikahan. Pertanyaan yang sama perihal sosokmu nyatanya tak jua kunjung reda meski pada saat itu kebersamaan kita tak bisa lagi dianggap hanya sekejap mata. Dan lagi-lagi semua tanya itu cukup kujawab dengan diam, senyum, sesekali tertawa, dan untuk kali ini ditambah dengan ucapan: doakan kami ya.




Tasikmalaya, Sabtu, 9 Juli 2016, resmi kita menikah, menjadi suami dan istri. Berjanji untuk tetap saling mencintai, melengkapi, juga memaklumi. Pernikahan kita terselenggara begitu sederhana, sesuai dengan upaya dan cita-cita yang kita bangun berdua. Buatku, hari itu terasa begitu cukup. Bahagia yang dibagi dengan cukup, tawa yang disebar dengan cukup, kegembiraan yang dirayakan dengan cukup, namun mudah-mudahan diiringi doa yang tumpah ruah.

Setelah perayaan pernikahan kita hari itu, satu persatu, mereka yang sempat mempertanyakan sosokmu, datang kepadaku, lalu kurang lebih berkata, "akhirnya aku sedikit tahu, laki-laki macam apa yang dengan teguh kau temani selama ini."

Ya. Laki-laki macam kamu.

Laki-laki macam kamu yang memintaku menjadi pendamping seumur hidupmu dengan salah satu maharnya adalah buku ciptaanmu sendiri.

Buku ini adalah sebuah hadiah,
sebuah hutang yang mesti dibayar tuntas,
sebuah angan, cita-cita, dan untuk yang terakhir ini
semoga tak pernah salah lagi: sebuah mahar nikah
untuk seorang wanita bernama
Dea Insani Ramadhan

(Chandra Egy Setiawan)

Laki-laki macam kamu. Yang di antara deru suara mesin menuliskan sebuah puisi untukku. Yang di antara panjang jalan tol yang kau telusuri menuliskan puisi untukku. Yang di tengah bisingnya kemacetan jalanan, kejamnya peradaban kota, carut-marutnya negara, kacaunya pemerintah kita, dan himpitan keserakahan penguasa, tetap saja menuliskan puisi untukku. Di antara sedih, getir, peluh, lelah, kepasrahan, kejujuran, kegelisahan, dan kau masih juga menuliskan puisi untukku.

Banyak malam yang kau gadaikan hanya untuk menulis puisi untukku. Diantara saut-saut hela nafas mereka yang terlelap di sampingmu, kau terjaga, mencicil kata demi kata, hingga dini hari tiba, dan paginya wajib bersiap untuk kembali berkerja. Katamu, kau sedang menulis kata-kata, dan menjadi tahu ternyata kata-kata punyamu adalah milikku.

Kau tak hanya merangkai kata untukku dan membentuknya menjadi seikat puisi, lebih dari itu. Kau membagikan banyak kisah, membagikan pandangan hidup. Tentang anak kecil dan layang-layang yang bertautan dengan harapan. Perihal perburungan yang dibalut saling percaya dan kesyukuran. Secangkir kopi dan kesabaran. Kisah gerimis paling melankolis juga getir pelangi turut pula kau ceritakan.

Dua minggu sebelum hari pernikahan kita, setelah satu bulan berjibaku dengan kata-kata, kau umumkan padaku, jika bukumu sudah rampung.

"Neng, Alhamdulillah. Aku jadi ngasih kamu mahar buku, bukunya sudah selesai cetak. Kamu senang?" tanyamu kala itu.

Lebih dari senang, lebih dari cukup, lebih dari yang dimau. Buku yang kau buat adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mengenai siapa sosokmu sesungguhnya. Buku ini menjadi bukti, tidak hanya menyoal romantisme, tapi juga soal kerja keras, kemauan, kedewasaan pemikiran, keterbukaan wawasan, kegigihan,  tanggung jawab, juga kecintaan.

Kau namai buku antalogi puisimu dengan Sebandung Asa. Katamu, sebandung artinya serangkai, dua benda yang di rangkai menjadi sepasang. Aku dan kamu. Dan asa adalah harapan. Sebandung asa adalah harapan kita. Kita berdua yang terlahir dari harapan.

Jika saja kita ingat perjalanan kita ke belakang, rasanya begitu mustahil kita tetap menjadi ada tanpa harapan yang menyala. Kita bertumbuh bersama. Berbagi bangku SMA, masa remaja, lalu tiba-tiba menjadi dewasa saja rasanya. Pemikiran kita bertumbuh serupa, dirakit dari cara pandang hidup yang sejatinya sama. Kita kemudian ditempa dengan huru-hara permasalahan. Masalah kecil, pahit, pun rumit. Pernah saja kita menyerah. Berkali-kali patah, terinjak, bahkan hampir pupus. Harapan lagi-lagi memainkan kuasanya. Dirangkainya kembali, ditarik, diulur, disokong hingga mampu berdiri kembali.

Tepat hari ini, satu bulan sudah kita berdiri bersama. Kau di depan menjadi imamku, aku dibelakang mengamini setiap doa-doamu. Allah satukan kita dalam ikatan pernikahan. Semoga Allah bukakan pintu-pintu kebaikan pada pernikahan kita. Semoga Allah lipat gandakan nikmat karunianya pada pernikahan kita. Semoga Allah sejahterkan dunia-akhirat pernikahan kita. Semoga Allah lapangan jalan rezeki kita berdua melalui pernikahan kita ini. Semoga Allah satukan apa-apa yang berserak diantara kita. Semoga pernikahan ini mampu membahagiakan mata orang tua kita.

Satu bulan ini, rasanya tak berhenti-hentinya mengucap syukur. Begitu banyak kebaikan yang Allah limpahkan kepada kita. Begita banyak perhatian yang orang lain bagi untuk kita. Begitu banyak cinta, kasih, dan tawa yang kau bagikan untuk kusantap. Kelak, aku percaya. Akan ada banyak kebaikan-kebaikan yang lain, perhatian-perhatian tanpa putus, cinta, kasih, dan tawa yang akan tanpa jeda.  

Untuk itulah Sebandung Asa harus selalu ada. Untuk mencuci beras bersama. Untuk mengupas bawang bersama. Untuk menjemur pakaian bersama. Untuk bercocok tanam bersama. Untuk menuai sayur dan buah di ladang bersama. Untuk melihat langit senja bersama. Untuk sholat dan mengaji bersama. Juga untuk merangkai dongen anak kita bersama. Bersama. Bersama memilin asa dan kebahagia. Karena seperti katamu, profesi kita ini pemilin, pemilin asa dan kebahagian. Sampai nanti. Sampai salah satu dari kita lebih dulu mati di pangkuan kekasihnya, meretas jalan menuju Tuhan.

Lalu kemudian bertanya:
masihkah kau mau hidup
setelah mati, bersamaku?

(Chandra Egy Setiawan, Sebandung Asa: Setelah Mati)

2 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Dea Insani Ramadhan | TNB